Wednesday, December 4, 2013

Filled Under:

emosi ( nilai, sikap, moral)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman emosionalnya. Perjalanan kehidupan seseorang tidak sama. Keinginan dan minat yang berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya masing-masing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk mewujudkan minat dan keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.

Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan dan keinginannya dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai, karena cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Hal itu juga didukung dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau terdapat hambatan yang membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena emosionalnya tidak stabil. Sehingga nilai, moral dan sikapnya terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan antara emosional dengan nilai, moral dan sikap adalah dorongan emosional dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Karena itu, seseorang  individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
Penjelasan di atas menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan emosioanal pada tingkah laku yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas mengenai perkembangan emosional, makalah ini akan membahas bagaimana perkembangan emosional dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral yang mencangkup pada makalah yang berjudul “Perkembangan Afektif atau Sosio Emosional Pada Masa Remaja”.

B.       Rumusan Masalahàsesuaikan dengan poin A
1.      Apa yang dimaksud dengan  emosi pada masa remaja?
2.      Apa yang dimakssud dengan nilai, moral, dan sikap?

1.        TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian, karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi dan hubungan emosi dengan tingkah laku  remaja.
2.      Untuk mengetahui pengertian, karakteristik, faktor yang mempengaruhi dan keterkaitan, nilai, moral, dan sikap.










BAB II
PEMBAHASAN
A.      Perkembangan Emosi
1.        Pengertian Emosi
Menurut  Patty F (1992), emosi  merupakan reaksi individu terhadap suatu perubahan pada situasi yang sekonyong-konyong sehingga tidak dapat bertindak dengan suatu tujuan tertentu. Reaksi tersebut berupa terkejut, takut, sedih, marah atau gembira terhadap kejadian orang atau objek di luar individu. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang lemah atau kadang-kadang tidak jelas (samar-samar). Dalam hal warna afetif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito, 1982:59). Di samping perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :
“ An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa ;
a). Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona.
b). Peredaran darah: bertambah vepat bilda marah.
c). Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut.
d). Pernafasan: bernafas panjang kalau kecewa.
e). Pupil mata: membesar bila marah.
f). Liur: mengering kalau takut atau tegang.
g). Bulu roma: berdiri kalau takut.
h). Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang.
i). Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor).
j). Komposisi darah: kmposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.



2. Karakteristik Perkembangan Emosional.
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “ badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan keterangan emosional sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Pola emosi remaja adalah sama dengna pola emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah: cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut, dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadapat ungkapan emosi mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional dalam kehidupan adalah penting (Jersild, 1957:133). Untuk selanjutnya berikut ini dibahas beberapa kondisi emosional sebagai berikut:
a.Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah laku problema lain yang memantul-mantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengna baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mendapat sambuta (diterima) oleh yang dicintai.
c. Keamarahan dan Permusuhan

Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjol dalam perkembanagn kepribadian. Pertama, diantara emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah segala emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam tuntunnannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase dalam perkembangan emosional, anatara lain dalam kaitanya dengna perbuatan marah dan cara menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa perubahan sehubungnya dengan pertambahan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional. Banyaknya hambatan berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah tersebut terus akan berlanjut pemunculannya apabila minat-mintanya, rencana-rencananya dan tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya sendiri. Meskipun marah sering kali tampak mencolok dan tidak terkendali namun rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan, dan sangat berfungsi sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi sesuai dengan haknya. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2). Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak akan merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadai surut, tetapi juga mempuyai sikap-sikap dimana sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permushan berbentuk dendam, kesediahan, prasangka atau kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu kecendrungan utnuk menjadi curiga dan keengganan atau menganggap bahwa orang lain tidak bersahabat dan mempunyai motif yang jelek.
3).Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan. Contohnya : jika seorang anak laki-laki yang mempunyai latar belakang  kecemburuan dan sikap-sikap permusuhan yang  tidak terselesaikan terhadap saudara perempuannya dan terhadap gadis-gadis pada umumnya, akhirnya dia mempunyai kebiasaan untuk menarik gadis-gadis hanya untuk menunjukan perolehannya terhadap gadis-gadis yang jatuh hati padanya.

d. Ketakutan Dan Kecemasan

Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami seringkali perkembangan panjang yang mempengauhi pasang surut berkenan dengna rasa ketakutannya. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan tidak menentu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional ramaja menjadi dua rentang usia yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1)      Pada usia seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2)      Siswa mungkin bertingka laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3)      Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis dan kelelahan karena terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4)      Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
5)      Siswa-siwa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu). 
Ciri-ciri emosional remaja usia 15 – 18 tahun :
1)      “Pembentrokan” remaja merupakan pertanyaan-pertanyaan/ ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2)      Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
3)      Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu. 
3. Kematangan Emosi pada Remaja
Kematangan emosi pada remaja diawali dengan pengendaliaan emosi dan biasanya biasanya tercapai kematangan emosional pada akhir masa remaja yang ditandai dengan ciri :
1.      Remaja mulai mampu menahan diri, untuk tidak melampiaskan emosinya di depan umum, remaja mulai berusaha mempertimbangkan baik buruknya akibat yang ditimbulkan, sampai dia mememukan cara yang tepat dan aman untuk melampiaskan marahnya tersebut.
2.      Remaja mulai mampu menganalisis situasi dengan kritis, dapat memberikan penilaian terhadap peristiwa atau perlakuan yang negatif yang diterimanya dengan mempertimbangkan apakah hal itu benar atau tidak. Remaja akan melakukan introspeksi dan koreksi pada diri  sendiri sebelum menanggapinya dengan marah atau mengakui kesalahannya.
3.      Remaja juga mampu menunjukkan suasana hati yang lebih stabil,  dan mulai tenang. Pada  masa remaja akhir anak sudah tidak mudah dipengaruhi teman atau meniru  perilaku orang-orang disekitarnya.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain adalah :
Ø  Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
Ø  Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
Ø  Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.

Ø  Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
Ø  Pelatihan atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
5. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali relative dapat normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang. Bila dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia kebingungan, dapat terjadi ia akan menunjukkan ketidak normalan dalam bicara. Sikap – sikap takut, malu – malu atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi atau frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau situasi-situasi tertentu. Justru karena reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu-individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, namun bisa disebabkan seauatu yang terjadi pada anak sehubungan dengan situasi kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghapal bahn pelajaran di muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam kegiatam nemnghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau mungkin ia melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri dari semuanya itu, dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif bila ia termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal ini akan mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa belajar.

 6. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi.
7.      Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembangkan/meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik dengan orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang antara dia dengan orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantau peristiwa tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan hal-hal yang lain daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orangtua, dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah. Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
B.     Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
1.    Pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun(Sutikna, 1988:5). Sopan santun,adat, dan kebiasaan serta niali-niai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga Negara dengan sesama warga Negara.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1957: 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup : tenggang rasa, dalam perilakunya eseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut freud menyatu dalam konsepnya tentang superego yang merupkan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerug, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal(Mappiare, 1982:58).sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.

Dengan demikian, ketrkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut :
1)      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2)      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3)      Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4)      Penilaian moral mrnjadi kurang egosentris.
5)      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan badan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan problematic yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dari hasil  penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat.
Tingkat I ; prokonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium 1,anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkanya. Anak hnya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa di ganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahapan ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan ”mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang sangat menentukan, apakah perbuatan seorang baik atau tidak. Menjadi ”anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik ang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan atura-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.

Tingkat III : pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan membeikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun disini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip univesal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakaatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s, 1984: 257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Dan Sikap
Berdasarkan seumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yangsimpatik,teman-teman, orang-orang terkenal,dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral, kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
4. Perbedaaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebuadayaan mempengarruhi perkembangan moral, trdapat berbagai rangsangan yag diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap perkembangan yang dicapai. Perbedaaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibangdingkan dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa,  memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
a.       Di ujung paling kiri, kita kelompok individu yang hampir-hampir atau sama sekali tidak tahu tentang konsep dan nilai tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak secara benar ditinjau dari konsep tenggang rasa.
b.      Di ujung paling kanan terdapat individu yang baik pengetahuan maupun tingkah lakunya, mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat meyakinkan.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam pemaham nilai-nilai, dan moral sebaga pendukung sikap dan perilakunya. Dan mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan sikap serta tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, sikap remaja adalah
1)      Menciptakan Kominikasi
Mengikutsertakan, remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini idak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.

2)   Menciptakan Iklim Lingkungan Yang Serasi
Usaha pengembangan tingkah laku niali hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sndiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan bersifat mengajak mengajak, mengundang atau memberi kesempatan akan lebih aktif daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan dan peraturan yang membatasi.














BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
·         Emosi adalah warna efektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pola emosi remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, dan sedih. Perbedaanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajatnya, serta pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi mereka. Biehler membedakan ciri-ciri perkembangan emossi remaja dalam rentang waktu usia 12-15 tahun dan 15-18 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain: kematangan dan belajar sserta kondisi-kondisi kehidupana atau kultur. Emosi mempengaruhi tingkah laku, misalnya: rassa takut menyebabkan seseorang gentar, sulit bicara, membolos, dsb. Ada perbedaan individual dalam perkembangan emosi yang ssebagian disebabkan oleh keadaan fisik, taraf kemampuan inteleektual dan kondisi lingkungan. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan, guru dapat melakuakan beberapa upaya dalam pengeembangan emosi remaja. Misalnya, konsisten dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri, pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami remaja dan meembantu siswa untuk berprestasi.
·         Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam massyarakat atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya baik ssebagai pribadi, maupun sebagai warga negara. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik, buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan sebagainya. Sikap adalah kesediaan bereaksi individu terrhadap suatu hal. Keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap tampak dalam pengamalan nilai-nilai. Pengenalan, penghayatan terhadap nlai-nilai berddasarkan moral yang dimiliki akan terbentuk sikap dan diwujudkan dalam tingkah laku yang mencerminkan niali-nilai yang dianut. Tingkat perkembangan pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja. Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh pengertian saja tetapi juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Orang tua dan orang penting lain disekitar remaja mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap. Menurut Kohlberg, disamping interaksi sosial, faktor anak ikut berperan dalam perkembangan nilai, moral, dan sikap, sesuai dengan umur, faktor kebudayaan, dan tingkat pemahamnnya.. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembngan nilai, moral, dan sikap remaja adalah meniptakan komunikasi disamping memberikan informasi. Dan remaja diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan sistem lingkungan yang serasi/kondusif.

0 komentar:

Post a Comment