BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat
untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat
yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman emosionalnya. Perjalanan kehidupan
seseorang tidak sama. Keinginan dan minat yang berbeda-beda dimiliki oleh
setiap individu menurut pola hidupnya masing-masing. Selain itu jalan atau cara
yang dilakukan untuk mewujudkan minat dan keinginan yang didorong oleh
emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang
yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan dan keinginannya
dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai, karena cenderung memiliki
perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya.
Hal itu juga didukung dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan
bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau terdapat hambatan
yang membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena emosionalnya tidak
stabil. Sehingga nilai, moral dan sikapnya terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan
antara emosional dengan nilai, moral dan sikap adalah dorongan emosional dapat
mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Karena itu, seseorang
individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan
pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
Penjelasan
di atas menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan emosioanal pada tingkah laku
yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas mengenai perkembangan emosional, makalah
ini akan membahas bagaimana perkembangan emosional
dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral yang mencangkup pada makalah yang
berjudul “Perkembangan Afektif atau Sosio Emosional Pada Masa Remaja”.
B.
Rumusan Masalahàsesuaikan dengan
poin A
1.
Apa yang dimaksud dengan emosi pada masa remaja?
2.
Apa yang dimakssud dengan
nilai, moral, dan sikap?
1.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian,
karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi dan hubungan emosi dengan
tingkah laku remaja.
2.
Untuk mengetahui pengertian, karakteristik,
faktor yang mempengaruhi dan keterkaitan, nilai, moral, dan sikap.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Emosi
1.
Pengertian Emosi
Menurut Patty F (1992), emosi merupakan reaksi individu terhadap suatu
perubahan pada situasi yang sekonyong-konyong sehingga tidak dapat bertindak
dengan suatu tujuan tertentu. Reaksi tersebut berupa terkejut, takut, sedih,
marah atau gembira terhadap kejadian orang atau objek di luar individu. Perasaan senang atau
tidak senang yang selalu menyertai
perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini
kadang-kadang lemah atau kadang-kadang tidak jelas (samar-samar).
Dalam hal warna afetif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan
lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito,
1982:59). Di samping perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh
macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas dan benci.
Emosi
dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu
gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas
batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan,
tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang ditunjukan
dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow
& Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :
“ An emotion, is an affective experience that accompanies
generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in
the individual, and that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian
dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu
tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi
perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa ;
a). Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila
terpesona.
b). Peredaran darah: bertambah vepat bilda
marah.
c). Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut.
d). Pernafasan: bernafas panjang kalau kecewa.
e). Pupil mata: membesar bila marah.
f). Liur: mengering kalau takut atau tegang.
g). Bulu roma: berdiri kalau takut.
h). Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang.
i). Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan
otot menegang atau bergetar (tremor).
j). Komposisi darah: kmposisi darah akan ikut berubah karena
emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
2. Karakteristik Perkembangan Emosional.
Secara tradisional masa remaja dianggap
sebagai periode “ badai dan tekanan”, suatu masa dimana
ketegangan keterangan emosional sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar.
Pola emosi remaja adalah sama dengna pola emosi masa
kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah: cinta/kasih
sayang, gembira, amarah, takut, dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain.
Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan
emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadapat
ungkapan emosi mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional dalam
kehidupan adalah penting (Jersild, 1957:133). Untuk selanjutnya berikut ini
dibahas beberapa kondisi emosional sebagai berikut:
a.Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk
mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan
untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun
kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja
yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap permusuhan
besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang
tidak disadari.
b. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman
yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Perasaan gembira dari remaja
belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas
peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah laku problema lain yang
memantul-mantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala
sesuatunya berlangsung dengna baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia
diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu
mendapat sambuta (diterima) oleh yang dicintai.
c. Keamarahan dan Permusuhan
Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha
remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang
mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang
memainkan peranan yang menonjol dalam perkembanagn
kepribadian. Pertama, diantara emosi-emosi ini
adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah segala
emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam
kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam tuntunnannya
sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase
dalam perkembangan emosional, anatara lain dalam kaitanya dengna perbuatan marah dan cara
menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan timbulnya rasa
marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa perubahan sehubungnya dengan pertambahan
umurnya dan kondisi-kondisi tertentu yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya
penguasaan kendali emosional. Banyaknya hambatan berpengaruh pada kehidupan
emosional remaja. Tetapi rasa marah tersebut terus akan berlanjut
pemunculannya apabila minat-mintanya, rencana-rencananya dan
tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor yang sangat penting
sehubungan dengan rasa marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia
untuk memiliki dirinya sendiri. Meskipun marah sering kali tampak mencolok dan
tidak terkendali namun rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan,
dan sangat berfungsi sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi
sesuai dengan haknya. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk
melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan menjamin hubungan antara
dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2). Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai
masa remaja, dia tidak akan merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan
kemudian menjadai surut, tetapi juga mempuyai sikap-sikap dimana sisa kemarahan
dalam bentuk permusuhan yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap
permushan berbentuk dendam, kesediahan, prasangka atau kecendrungan untuk
merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu kecendrungan
utnuk menjadi curiga dan keengganan atau menganggap bahwa
orang lain tidak bersahabat dan mempunyai motif yang jelek.
3).Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan
seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin
dipakai sebagai alat kemarahan. Contohnya : jika seorang anak laki-laki yang
mempunyai latar belakang kecemburuan dan sikap-sikap permusuhan yang tidak terselesaikan
terhadap saudara perempuannya dan terhadap gadis-gadis pada umumnya, akhirnya
dia mempunyai kebiasaan untuk menarik gadis-gadis hanya
untuk menunjukan perolehannya terhadap gadis-gadis yang jatuh hati padanya.
d. Ketakutan Dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami
seringkali perkembangan panjang yang mempengauhi pasang surut
berkenan dengna rasa ketakutannya. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul
karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan
perkembangan remaja itu sendiri.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah
menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut
sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan tidak
menentu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional ramaja menjadi dua
rentang usia yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15
tahun:
1)
Pada usia seorang siswa/anak cenderung banyak
murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari
perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan
sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai
anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2)
Siswa mungkin bertingka laku kasar untuk
menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3)
Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi.
Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis,
ketidakstabilan biologis dan kelelahan karena terlalu keras atau pola makan
yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4)
Seorang remaja cenderung tidak toleran
terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan
kurangnya rasa percaya diri.
5)
Siswa-siwa di SMP mulai mengamati orang tua
dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila
mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu).
Ciri-ciri emosional remaja usia 15 – 18 tahun
:
1)
“Pembentrokan” remaja merupakan
pertanyaan-pertanyaan/ ekspresi dari perubahan yang universal dari masa
kanak-kanak ke dewasa.
2)
Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak
remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
3)
Siswa pada usia ini seringkali melamun,
memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu
tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk
memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3.
Kematangan Emosi pada Remaja
Kematangan emosi pada remaja diawali dengan
pengendaliaan emosi dan biasanya biasanya tercapai kematangan emosional pada
akhir masa remaja yang ditandai dengan ciri :
1.
Remaja
mulai mampu menahan diri, untuk tidak melampiaskan emosinya di depan umum,
remaja mulai berusaha mempertimbangkan baik buruknya akibat yang ditimbulkan,
sampai dia mememukan cara yang tepat dan aman untuk melampiaskan marahnya
tersebut.
2.
Remaja
mulai mampu menganalisis situasi dengan kritis, dapat memberikan penilaian
terhadap peristiwa atau perlakuan yang negatif yang diterimanya dengan
mempertimbangkan apakah hal itu benar atau tidak. Remaja akan melakukan
introspeksi dan koreksi pada diri sendiri
sebelum menanggapinya dengan marah atau mengakui kesalahannya.
3.
Remaja
juga mampu menunjukkan suasana hati yang lebih stabil, dan mulai tenang. Pada masa remaja akhir anak sudah tidak mudah
dipengaruhi teman atau meniru perilaku
orang-orang disekitarnya.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi mereka bergantung pada
faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960;266). Reaksi
emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi
tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem
endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam
mempengaruhi perkembangan emosi.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi
antara lain adalah :
Ø Belajar dengan
coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam
bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak
perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan
kepuasan.
Ø
Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati
hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi
dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
Ø Belajar dengan cara
mempersamakan diri (learning by identification)
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan
yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan
orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
Ø Belajar melalui
pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal
memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi.
Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan
karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi
secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin
terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
Ø Pelatihan atau belajar
dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika
sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi
terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
5. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta
Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara.
Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak
disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup
lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali relative
dapat normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang.
Bila dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia kebingungan,
dapat terjadi ia akan menunjukkan ketidak normalan dalam bicara. Sikap – sikap
takut, malu – malu atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi
atau frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau
situasi-situasi tertentu. Justru karena reaksi kita berbeda-beda terhadap
setiap orang yang kita jumpai,
maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap
hadirnya individu-individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi
guru, namun bisa disebabkan seauatu yang terjadi pada anak sehubungan dengan
situasi kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghapal bahn pelajaran
di muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam
kegiatam nemnghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau
mungkin ia melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri dari
semuanya itu, dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain.
Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar.
Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya
apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif bila ia
termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal ini ada pada dirinya,
selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang
dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal
ini akan mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan
perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan
memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk
belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak.
Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang tidak
menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa
belajar.
6. Perbedaan Individual
dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi
terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari
berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai
terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta
lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara
lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan
emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi
emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi
itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional
mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada
saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh
kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan
dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu
kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai
macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi
sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi
kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis
mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga
yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut
dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus
sosial ekonomi tinggi.
7.
Upaya Pengembangan
Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak
melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru
adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang
dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang
bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas
sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah
ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk
bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil
ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah
lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan
siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan
penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan
orang lain dalam mengembangkan/meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya
waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras, dan kaku yang
suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak
sependapat dengannya atau menentangnya.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit.
Dalam banyak hal ia tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan fisik
dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat
dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari
orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik
dengan orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para
remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang antara
dia dengan orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantau peristiwa
tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin
rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta
untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan
hal-hal yang lain daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan
orangtua, dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah.
Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah
bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang
selalu memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa,
tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
B. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
1.
Pengertian dan saling
keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun(Sutikna,
1988:5). Sopan santun,adat, dan kebiasaan serta niali-niai yang
terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan
seseorang dalam kedudukannya sebagai warga Negara dengan sesama warga Negara.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto,
1957: 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak
baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral
merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai
hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup : tenggang rasa,
dalam perilakunya eseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain, tidak
“semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa
menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam
hal ini aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan
nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut freud menyatu dalam
konsepnya tentang superego yang merupkan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk
mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerug, sikap
secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal(Mappiare,
1982:58).sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang
dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika
telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, ketrkaitan antara nilai, moral, sikap, dan
tingkah laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain
nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh
moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan
pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam
moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa
Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut :
1)
Pandangan moral
individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2)
Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang
benar dan kurang pada apa yang salah.keadilan muncul sebagai kekuatan moral
yang dominant.
3)
Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal
ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah
moral yang dihadapinya.
4)
Penilaian moral mrnjadi kurang egosentris.
5)
Penilaian moral secara psikologis menjadi
lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan badan emosi dan
menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (dalam
Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan problematic yang pokok
dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini
mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa
remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg
mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara
universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut
Kohlberg, yaitu tingkat.
Tingkat I ;
prokonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium 1,anak berorientasi
kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat
yang ditimbulkanya. Anak hnya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh
adanya kekuasaan yang tidak bisa di ganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau
tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku
prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahapan ini, anak tidak lagi
secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini
artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang
(hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan
”mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai
perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui
sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II :
konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang
baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak
memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak
baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang sangat menentukan, apakah
perbuatan seorang baik atau tidak. Menjadi ”anak yang manis” masih sangat penting
dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma
sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik ang diperlihatkan
seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya,
melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan atura-aturan atau
norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat III :
pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap
orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada
stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial,
dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai
dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau
masyarakat akan membeikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja
masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun
disini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih
belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang
seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip
univesal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan
subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakaatnya
ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau
tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang
dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh
dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral
yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemudikan oleh
tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional
harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi
remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s, 1984: 257). Mengerti
nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga
dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja
sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya
sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai
ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral,
Dan Sikap
Berdasarkan seumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi
nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya
sebagai model.bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang
diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yangsimpatik,teman-teman, orang-orang
terkenal,dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep
superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau
perintah-perintah yang datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian
rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang
yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil,
kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga
mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis
beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk
moral. Para sisiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran
penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh
adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi
tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai pencerminan
nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan
penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang
tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama
terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas
sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat
pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh
kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran
yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada
anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui
interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana
faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut
berperan. Dalam perkembangan moral, kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan
mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang
didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya dipengaruhi
oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut
tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
4. Perbedaaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral,
dan Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebuadayaan mempengarruhi perkembangan
moral, trdapat berbagai rangsangan yag diterima oleh anak-anak dan ini
mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya
tahap-tahap perkembangan yang dicapai. Perbedaaan perseorangan juga dapat
dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibangdingkan
dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa,
memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
a.
Di ujung paling kiri, kita kelompok individu
yang hampir-hampir atau sama sekali tidak tahu tentang konsep dan nilai
tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak secara benar ditinjau dari
konsep tenggang rasa.
b.
Di ujung paling kanan terdapat individu yang
baik pengetahuan maupun tingkah lakunya, mencerminkan penghayatan nilai
tenggang rasa yang sangat meyakinkan.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam pemaham nilai-nilai,
dan moral sebaga pendukung sikap dan perilakunya. Dan mungkin terjadi individu
atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan sikap serta
tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta
Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan
sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup
tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli
(Surakhmad, 1980: 17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan
nilai, moral, sikap remaja adalah
1)
Menciptakan Kominikasi
Mengikutsertakan, remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam
pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut
serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan
kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu
yang akan merugikan orang lain karena hal ini idak sesuai dengan nilai atau
norma-norma moral.
2)
Menciptakan Iklim Lingkungan Yang
Serasi
Usaha pengembangan
tingkah laku niali hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan
pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya
lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sndiri merupakan
penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan
bersifat mengajak mengajak, mengundang atau memberi kesempatan akan lebih aktif
daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan dan peraturan yang membatasi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
·
Emosi adalah warna efektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Pola emosi remaja sama dengan pola emosi masa
kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami antara lain: cinta,
gembira, marah, takut, cemas, dan sedih. Perbedaanya terletak pada rangsangan
yang membangkitkan emosi dan derajatnya, serta pengendalian remaja terhadap
ungkapan emosi mereka. Biehler membedakan ciri-ciri perkembangan emossi remaja
dalam rentang waktu usia 12-15 tahun dan 15-18 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain: kematangan dan
belajar sserta kondisi-kondisi kehidupana atau kultur. Emosi mempengaruhi
tingkah laku, misalnya: rassa takut menyebabkan seseorang gentar, sulit bicara,
membolos, dsb. Ada perbedaan individual dalam perkembangan emosi yang ssebagian
disebabkan oleh keadaan fisik, taraf kemampuan inteleektual dan kondisi
lingkungan. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan, guru dapat
melakuakan beberapa upaya dalam pengeembangan emosi remaja. Misalnya, konsisten
dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri,
pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami remaja dan meembantu
siswa untuk berprestasi.
·
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku
dalam massyarakat atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang
dalam hidupnya baik ssebagai pribadi, maupun sebagai warga negara. Sedangkan
moral adalah ajaran tentang baik, buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan
sebagainya. Sikap adalah kesediaan bereaksi individu terrhadap suatu hal.
Keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap tampak dalam pengamalan nilai-nilai.
Pengenalan, penghayatan terhadap nlai-nilai berddasarkan moral yang dimiliki
akan terbentuk sikap dan diwujudkan dalam tingkah laku yang mencerminkan
niali-nilai yang dianut. Tingkat
perkembangan pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja. Menjadi remaja
berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh pengertian
saja tetapi juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Orang tua dan orang
penting lain disekitar remaja mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap.
Menurut Kohlberg, disamping interaksi sosial, faktor anak ikut berperan dalam
perkembangan nilai, moral, dan sikap, sesuai dengan umur, faktor kebudayaan,
dan tingkat pemahamnnya.. Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dalam rangka pengembngan nilai, moral, dan sikap remaja
adalah meniptakan komunikasi disamping memberikan informasi. Dan remaja diberi
kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan sistem
lingkungan yang serasi/kondusif.
0 komentar:
Post a Comment