1.2.1 Pengertian UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah)
Pengertian Usaha Mikro
·
Usaha Mikro Berdasarkan Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro) adalah
usaha produktif milik orang perorangan dan / atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
·
Usaha Menengah adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan
atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
·
Usaha mikro merupakan kegiatan
usaha yang dapat memperluas lapangan pekerjaan serta memberikan pelayanan
ekonomi secara luas kepada masyarakat dan dapat berperan dalam proses
pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan
ekonomi, serta berperan mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, usaha mikro
adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang medapatkan kesempatan
utama, dukungan, perlindungan serta pengembangan yang secara luas sebagai wujud
pihak yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa harus mengabaikan
peranan usaha besar dan badan usaha milik pemerintah.
Karakteristik UMKM
Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah memiliki
karakteristik tersendiri yang
dapat membedakan antara UMKM dengan usaha
berskala besar. Karakteristik
yang membedakan UMKM ini dengan usaha berskala
besar adalah dari segi
permodalannya dan Sumber Daya Manusianya. Usaha
Mikro Kecil dan Menengah
umumnya memerlukan modal yang relatif kecil
dibandingkan dengan usaha
berskala besar. Oleh karena itu UMKM lebih
banyak bergerak di sektor informal,
karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki
terutama masalah modal.
Dalam perspektif perkembangannya, UMKM dapat
diklasifikasikan menjadi 4
(empat) kelompok yaitu :
1. Livelihood Activities, merupakan
UMKM yang digunakan sebagai kesempatan
kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal
sebagai sektor informal.
Contohnya adalah pedagang kaki lima.
2. Micro Enterprise, merupakan UMKM
yang memiliki sifat pengrajin tetapi
belum memiliki sifat kewirausahaan.
3. Small Dynamic Enterprise, merupakan
UMKM yang telah memiliki jiwa
kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan
subkontrak dan ekspor.
4. Fast Moving Enterprise, merupakan
UMKM yang telah memiliki jiwa
kewirausahaan dan akan melakukan
transformasi menjadi Usaha Besar (UB).
Tabel 6. Kriteria UMKM Menurut UU No 20
Tahun 2008 :
No. Uraian Kriteria
Asset
Omzet
1 Usaha Mikro Maks.
50 Juta Maks. 300
Juta
2 Usaha Kecil >
50 Juta - 500 Juta >
300 Juta - 2,5 Miliar
3 Usaha Menengah >
500 Juta - 10 Miliar > 2,5 Miliar - 50
Miliar
1.2.3 Ciri-Ciri
Usaha Mikro Kecil dan Menengah
1. Bahan baku mudah diperoleh.
2. Menggunakan teknologi sederhana sehingga
mudah dilakukan.
3. Keterampilan dasar umumnya sudah
dimiliki secara turun temurun.
4. Bersifat padat karya atau menyerap tenaga
kerja yang cukup banyak.
5. Peluang pasar cukup luas, sebagian besar
produknya terserap di pasar lokal/
domestik dan tidak tertutup sebagian lainnya
berpotensi untuk diekspor.
6. Beberapa komoditi tertentu memiliki ciri
khas terkait dengan karya seni
budaya daerah setempat.
7. Melibatkan masyarakat ekonomi lemah setempat
secara ekonomis
menguntungkan.
Peran dan Fungsi Usaha Mikro Kecil dan
Menengah
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara
terstruktur dengan arah
produktivitas dan daya saing adalah tujuan dan
peran UMKM dalam
menumbuhkan wirausahawan yang tangguh. Secara
umum UMKM dalam
perekonomian nasional memiliki peran :
1. Sebagai pemeran utama dalam kegiatan
ekonomi.
2. Penyedia lapangan kerja.
3. Pemain penting dalam pengembangan
perekonomian lokal dan pemberdayaan
masyarakat.
4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi,
serta kontrbusinya terhadap neraca
pembayaran (Departemen Koperasi dan UKM,
2008).
1.2.5 Prospek UKM dalam era perdagangan bebas dan
Globalisasi dalam Perekonomian Dunia
Bagi setiap unit
usaha dari semua skala dan di semua sector ekonomi, era perdagangan bebas dan
globalisasi perekonomian dunia di satu sisi akan menciptakan banyak kesempatan.
Namun di sisi lain juga menciptakan banyak tantangan yang apabila tidak dapat
dihadapi dengan baik akan menjelma menjadi ancaman.
Bentuk kesempatan dan tantangan yang akan
muncul tentu akan berbeda menurut jenis kegiatan ekonomi yang berbeda.
Globalisasi perekonomian dunia juga memperbesar ketidakpastian terutama karena
semakin tingginya mobilisasi modal, manusia, dan sumber daya produksi lainnya
serta semakin terintegrasinya kegiatan produksi, investasi dan keuangan
antarnegara yang antara lain dapat menimbulkan gejolak-gejolak ekonomi di suatu
wilayah akibat pengaruh langsung dari ketidakstabilan ekonomi di wilayah lain.
1.2.2 Lembaga Keuangan Mikro
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Keuangan Mikro yang
selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana.
3.
Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus
dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan.
LKM bertujuan untuk:
a. meningkatkan akses pendanaan
skala mikro bagi masyarakat;
b. membantu peningkatan
pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan
c. membantu peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat
terutama
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Dalam upaya mendorong pemberdayaan
masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diperlukan dukungan yang komprehensif dari
lembaga keuangan. Selama ini UMKM terkendala akses pendanaan ke lembaga keuangan
formal. Untuk mengatasi kendala tersebut, di masyarakat telah tumbuh dan
berkembang banyak lembaga keuangan non-bank yang melakukan kegiatan usaha jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik yang didirikan pemerintah
atau masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan sebutan lembaga
keuangan mikro (LKM). Tetapi LKM tersebut banyak yang belum berbadan hukum dan
memiliki izin usaha. Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas
operasionalisasi LKM, pada tanggal 8 Januari 2013 telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Dasar hukum
1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro (Undang-Undang LKM).
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun
2014 tentang Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan Dan Luas Cakupan
Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
3.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) :
a.
POJK Nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perijinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
b.
POJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
c.
POJK Nomor 14/POJK.05/2014 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
DefinisiLKM
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melaluipinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yangtidak semata-mata mencari keuntungan.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melaluipinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yangtidak semata-mata mencari keuntungan.
Kegiatan Usaha LKM
1. Kegiatan
usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha.
2. Kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan
Prinsip Syariah.
Tujuan LKM:
1. Meningkatkan
akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
2. Membantu
peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan
3. Membantu
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah
Kewajiban Memperoleh Izin Usaha LKM
1. Lembaga
yang akan menjalankan usaha LKM setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, wajib memperoleh izin usaha LKM.
2. Lembaga
Keuangan Mikro yang telah berdiri dan telah beroperasi sebelum berlakunya
Undang-Undang LKM, serta belum mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan
sebagai LKM kepada OJK paling lambat tanggal 8 Januari 2016, antara lain:
o
Bank Desa
o
Lumbung Desa
o
Bank Pasar
o
Bank Pegawai
o
Badan Kredit Desa (BKD)
o
Badan Kredit Kecamatan (BKK)
|
o
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK)
o
Lembaga Perkreditan Kecamatan
(LPK)
o
Bank Karya Produksi (BKPD)
o
Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP)
|
o
Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
o
Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM)
o
Dan/atau lembaga-lembaga lainnya
yang dipersamakan dengan itu
|
3. Permohonan
izin usaha baru atau pengukuhan sebagai LKM disampaikan kepada Kantor
Regional/Kantor OJK/Direktorat LKM sesuai tempat kedudukan LKM.
Bentuk Badan Hukum LKM
1. Koperasi;
atau
2. Perseroan
Terbatas (sahamnya paling sedikit 60% dimiliki oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan, sisa kepemilikan saham PT
dapat dimiliki oleh WNI dan/atau koperasi dengan kepemilikan WNI paling banyak
sebesar 20%).
KepemilikanLKM
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
1. Warga
Negara Indonesia;
2. Badan
usaha milik desa/kelurahan;
3. Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau
4. Koperasi.
LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung, oleh warga
negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh
warga negara asing atau badan usaha asing.
Luas Cakupan Wilayah Usaha dan
Permodalan LKM
1.
Luas Cakupan wilayah usaha suatu LKM
berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai
dengan skala usaha masing-masing LKM.
2.
Skala usaha LKM sebagaimana dimaksud
ditetapkan berdasarkan distribusi nasabah peminjam atau Pembiayaan sebagai
berikut:
a.
LKM memiliki skala usaha
desa/kelurahan apabila memberikan Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 1
(satu) desa/kelurahan;
b.
LKM memiliki skala usaha kecamatan
apabila memberikan Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua)
desa/kelurahan atau lebih dalam 1 (satu) wilayah kecamatan yang sama;
c.
LKM memiliki skala usaha
kabupaten/kota apabila memberikan Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 2
(dua) kecamatan atau lebih dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang sama.
3.
Modal LKM terdiri dari modal disetor
untuk LKM yang berbadan hukum PT atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah
untuk LKM yang berbadan hukum Koperasi dengan besaran:
a.
Wilayah usaha desa/kelurahan : Rp
50.000.000,-
b.
Wilayah usaha kecamatan : Rp
100.000.000,-
c.
Wilayah usaha kabupaten/kota : Rp
500.000.000,-
TransformasiLKM
LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika:
LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika:
1.
melakukan kegiatan usaha melebihi 1
(satu) wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKM; atau
2.
LKM telah memiliki:
a.
ekuitas paling kurang 5 (lima) kali
dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank
pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
b.
jumlah dana pihak ketiga dalam
bentuk Simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun terakhir paling kurang 25
(dua puluh lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan
rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Laporan Keuangan LKM
1.
LKM wajib menyampaikan laporan
keuangan secara berkala setiap 4 (empat) bulan untuk periode yang berakhir pada
tanggal 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada OJK.
2.
Penyampaian laporan keuangan
dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
3.
Ketentuan mengenai laporan keuangan
LKM diatur dalam surat edaran OJK.
LaranganBagiLKM
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
1.
menerima Simpanan berupa giro dan
ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2.
melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing;
3.
melakukan usaha perasuransian
sebagai penanggung;
4.
bertindak sebagai penjamin;
5.
memberi Pinjaman atau Pembiayaan
kepada LKM lain, kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM
lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama;
6.
melakukan penyaluran Pinjaman atau
Pembiayaan di luar cakupan wilayah usaha; dan/atau
7.
melakukan usaha di luar kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK Nomor 13/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
Pembinaan, Pengaturan, dan
Pengawasan LKM
1.
Pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan LKM dilakukan oleh OJK.
2.
Dalam melakukan pembinaan LKM, OJK
melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi
dan Kementerian Dalam Negeri.
3.
Pembinaan dan pengawasan LKM
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang
ditunjuk.
1.2.3 Pasar Tradisional
Pasar tradisional adalah pasar yang
pelaksanaanya bersifat tradisional tempat bertemunya penjual pembeli,
terjadinya kesepakatan harga dan terjadinya transaksi setelah melalui proses
tawar-menawar harga.
Biasanya pasar tradisional umumnya menyediakan berbagai macam bahan
pokok keperluan rumah tangga, dan pasar ini biasanya berlokasi di tempat yang
terbuka. Bangunan di pasar ini berbentuk toko dan los.
Ciri-ciri
pasar tradisional
Berikut ini ciri
dari pasar tradisional:
- Proses jual beli barang dll. melalui
proses tawar menawar harga.
- Barang yang dijual umumnya keperluan
memasak,dapur dan rumah tangga.
- Harga barang yang di perjualbelikan
relatif murah dan terjangkau.
- Area pasar tradisional biasanya di tempat
yang terbuka.
Lalu
inilah syarat-syarat pasar
Berikut ini syarat
dari pasar atau terbentuknya pasar, dapat kamu baca di bawah ini;
- Adanya penjual dan pembeli.
- Adanya barang yang di perjual belikan.
- Terjadinya kesepakatan harga dan
transaksi.
PASAR
TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di
bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi
dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di
beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai
salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang
dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan
Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD)
lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan
retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta
Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada
pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan
pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi
tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk
mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang
dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong
seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong
tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Infrastruktur pasar
Pemerintah kini fokus pada pembangunan infrastruktur, namun sepertinya belum memasukan pasar, khususnya di daerah, sebagai infrastruktur penting dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat atas sarana dan prasarana perekonomian. Pasar, khususnya pasar tradisional yang ada di setiap daerah, diyakini mampu memperkuat perekonomian rakyat yang menjadi penyangga perekonomian nasional. Selama ini pasar tradisional kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, dan bau. Namun sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli. Meski banyak juga yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung yang beralih ke pasar moderen. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan tidak ada yang salah dengan prioritas pemerintah dalam membangun infrastruktur itu, yang memang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Namun, katanya, dampak dari pembangunan infrastruktur seperti itu tidak langsung bisa dinikmati masyarakat, perlu waktu.
Berbeda halnya dengan pasar, infrastruktur tersebut bisa langsung dinikmati masyarakat karena tempat itu langsung membuat transaksi juat beli berjalan dan perekonomian bergerak.
Kebijakan pengembangan
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Usman berpendapat perlunya pemerintah membuat kebijakan tentang pengembangan pasar tradisonal di daerah untuk memperkuat perekonomian rakyat.
Adanya pasar itu juga mendorong peningkatan potensi pelaku usaha kelas pasar tradisional di daerah.
Pasar tradisional merupakan pusat ekonomi rakyat yang menjadi penyangga perekonomian nasional, sehingga harus terus dijaga stabilitas dan posisinya untuk menjadikan pasar tradisional sebagai garda terdepan ekonomi rakyat di daerah masing-masing.
Bahkan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Oesman Sapta Odang menilai, Indonesia harus membangkitkan pasar-pasar daerah lebih dulu ketimbang fokus menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai berlaku pada awal 2016.
"Kita harus bangkitkan pasar daerah karena hanya dari daerah kita bisa mandiri. Pasar-pasar daerah harus dirangsang untuk dihidupkan demi untuk tidak membangun ketergantungan," katanya.
Menurut dia, Indonesia membutuhkan infrastruktur pasar di daerah sebagai tempat memasarkan produk dalam negeri.
"Mending isi kekurangan pasar kita. Yang harus kita perhitungkan pasar-pasar daerah, dengan masuknya barang impor itu membunuh UKM-UKM daerah," katanya.
Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah merevitalisasi pasar tradisional selama ini dinilai masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) fisik bangunan pasar.
Hal itu masih sangat jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan seperti mengembangkan organisasi pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu tiga hingga lima tahun kemudian, bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut.
Kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar.
Terlebih lagi, setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah
Pemerintah kini fokus pada pembangunan infrastruktur, namun sepertinya belum memasukan pasar, khususnya di daerah, sebagai infrastruktur penting dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat atas sarana dan prasarana perekonomian. Pasar, khususnya pasar tradisional yang ada di setiap daerah, diyakini mampu memperkuat perekonomian rakyat yang menjadi penyangga perekonomian nasional. Selama ini pasar tradisional kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, dan bau. Namun sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli. Meski banyak juga yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung yang beralih ke pasar moderen. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan tidak ada yang salah dengan prioritas pemerintah dalam membangun infrastruktur itu, yang memang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Namun, katanya, dampak dari pembangunan infrastruktur seperti itu tidak langsung bisa dinikmati masyarakat, perlu waktu.
Berbeda halnya dengan pasar, infrastruktur tersebut bisa langsung dinikmati masyarakat karena tempat itu langsung membuat transaksi juat beli berjalan dan perekonomian bergerak.
Kebijakan pengembangan
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Usman berpendapat perlunya pemerintah membuat kebijakan tentang pengembangan pasar tradisonal di daerah untuk memperkuat perekonomian rakyat.
Adanya pasar itu juga mendorong peningkatan potensi pelaku usaha kelas pasar tradisional di daerah.
Pasar tradisional merupakan pusat ekonomi rakyat yang menjadi penyangga perekonomian nasional, sehingga harus terus dijaga stabilitas dan posisinya untuk menjadikan pasar tradisional sebagai garda terdepan ekonomi rakyat di daerah masing-masing.
Bahkan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Oesman Sapta Odang menilai, Indonesia harus membangkitkan pasar-pasar daerah lebih dulu ketimbang fokus menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai berlaku pada awal 2016.
"Kita harus bangkitkan pasar daerah karena hanya dari daerah kita bisa mandiri. Pasar-pasar daerah harus dirangsang untuk dihidupkan demi untuk tidak membangun ketergantungan," katanya.
Menurut dia, Indonesia membutuhkan infrastruktur pasar di daerah sebagai tempat memasarkan produk dalam negeri.
"Mending isi kekurangan pasar kita. Yang harus kita perhitungkan pasar-pasar daerah, dengan masuknya barang impor itu membunuh UKM-UKM daerah," katanya.
Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah merevitalisasi pasar tradisional selama ini dinilai masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) fisik bangunan pasar.
Hal itu masih sangat jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan seperti mengembangkan organisasi pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu tiga hingga lima tahun kemudian, bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut.
Kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar.
Terlebih lagi, setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah
0 komentar:
Post a Comment