Sunday, July 31, 2016

Filled Under:

kasus pembantaian di Mesuji

Faktor yang melatarbelakangi kasus pembantaian di Mesuji
Kasus pembantaian di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan yang telah memakan bukanlah hal kebetulan terjadi. Namun Undang-undang tentang perkebunan nomor 18 Tahun 2004 adalah penyebabnya. Pasalnya undang-undang tersebut keberpihakannya sangat nyata kepada perusahaan perkebunan dan mengabaikan hak-hak masyarakat. UU Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat.
Bentrokan ini kemungkinan besar dipicu oleh konflik lahan antara warga dengan pihak perusahaan. Sebab di akhir tahun 2010 lalu, warga Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) melakukan panen di perkebunan sawit milik PT Sumber Wangi Alam (PT SWA). Bahkan, saat itu, panen yang dilakukan warga di kebun inti PT SWA seluas 298 hektar, diawasi satu pleton anggota Brimob.  Pihak perusahaan pernah menangkap warga yang mencuri sawit, tapi warga kemudian menyandera karyawan perusahaan dan meminta teman-teman yang ditangkap dibebaskan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, bentrokan dipicu oleh masalah lahan perkebunan. Konflik yang selama ini terpendam kemudian memuncak saat tersiar kabar bahwa dua orang warga Sungai Sodong, tewas dianiyaya oleh orang bayaran PT. SWA yang disewa untuk menduduki lahan yang selama ini menjadi sengketa dengan warga. Warga yang marah kemudian pada Kamis (21/4/2011) menyerang ke PT. SWA, dengan membawa beragam senjata.
Saat ini pihak Polda Sumsel belum memberikan penjelasan resmi mengenai bentrokan yang terjadi, namun ratusan petugas sudah diturunkan untuk mengamankan wilayah bentrokan tersebut.Kondisi perkebunan sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, hingga kemarin (22/4) masih mencekam. Ratusan karyawan PT SWA mengungsi ke perusahaan terdekat. Pabrik lumpuh alias tidak operasional sama sekali.
Konflik mulai terjadi dengan PT. BSMI saat pembebasan lahan yang disebabkan sekurangnya dua hal. Pertama masyarakat pemilik tanah langsung tidak dilibatkan dalam permupakatan dalam menentukan nilai harga tanah, kedua masyarakat tidak dilibatkan dalam pengukuran areal tanah. Karena merasa dirugikan, awal tahun 1996 masyarakat Desa Sri Tanjung mengirimkan surat kepada Komans HAM dan saat itu masalah ini ditangani langsung oleh Sekretaris Komnas HAM yaitu Bpk. Baharuddin Lopa (alm).
Dalam situasi yang masih berkonflik, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN memberikan HGU kepada PT. BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: 43/HGU/BPN/97.
Berbagai usaha telah dilakukan masyarakat namun tetap nihil hasil.Pada April 2007 sesungguhnya telah dilangsungkan rapat serius antara warga dengan PT. BSMI yang dipasilitasi oleh Pemkab Tulang Bawang dengan pokok bahasan segera menyelesaikan masalah tanah.Namun pihak perusahaan tidak pernah menggubris hasil mediasi tersebut. Sehingga Pemkab Tulang Bawang melalui surat No. 130/1124/I.01/TB/2007 telah memberi peringatan kepada PT.BSMI agar; 1. Tidak melakukan pengelolaan lahan yang disengketakan warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, 2.Diminta untuk melaksanakan pengukuran ulang atas lahan. Hingga tahun 2010, pihak perusahaan tetap tidakmengubris surat dari Bupati Tulang Bawang.
Setelah wilayah Mesuji menjadi kabupaten sendiri sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang, atas desakan masyarakat tiga desa maka pada 1 Nopember 2011 telah dilangsungkan rapat dengan menghasilkan terbentuknya tim terpadu menyelesaikan batas wilayah hak guna usaha (HGU) perusahaan yang beranggotakan Pemkab Mesuji, BPN, DPRD, Kepolisiaan, TNI, PT. BSMI dan perwakilan masyarakat. Namun untuk menentukan langkah awal kerja tim terpadu terganjal oleh beda pendapat. Pemda menginginkan agar segera dialakukan pengukuran ulang lahan, sementara BPN Tulangbawang menyebutkan pengukuran ulang harus melalui izin BPN Pusat sedangkan PT.BSMI menolak pengukuran ulang.
Insiden 10 November 2011
Sejak September 2011 masyarakat yang merasa tanahnya tidak pernah mendapat ganti rugi melakukan panen kolektif secara bergilir diatas lahan plasma.Dan sebelum melakukan panen masyarakat telah berkoordinasi dengan Polres Tulang Bawang.
Seperti biasanya setiap satu minggu sekali masyarakat melakukan panen dan tepatnya dilakukan jam 10.00 WIB pada 10/11. Petani yang memiliki kendaraan diparkir dipinggir jalan. Sekitar jam 13.00 Brimob mengambil paksa salah satu motor milik petani yang sedang diparkir dengan diseret menggunakan truk ke markas Brimob di lokasi pabrik.
Mendapat khabar tesebut sekitar jam 14.45 puluhan orang setelah selesai panen, bersama-sama menuju pos jaga Brimob untuk menanyakan dan meminta dikembalikan motor yang disita. Namun belum tiba dilokasi dan belum juga terucap kata, Brimob telah menembak para petani yang sedang mengendarai motor menuju lokasi. Penembakan tersebut tanpa peringatan tembakan keudara namun langsung membabi buta dan berdurasi sekitar 15 menit sebagaimana diutarakan oleh korban.Saat itu terdapat 130 brimob dan terdapat juga TNI Marinir, namun menurut korban lagi, Marinir tidak melakukan tindakan apapun.
Penembakan tersebut terjadi sekitar pukul 15.00.Dan dalam insiden tersebut telah jatuh korban; 1.Zaelani (45) warga Desa Kagungan Dalam meninggal ditempat karena luka tembak dikepala yang menembus diatas telinga, 2.Rano Karno (28) luka perut dan lengan, 3. Muslim (18) luka berat di kaki dan harus diamputasi karena tulang pecah, , 4. Reli (32) luka tembak di bahu kanan, 5.Hirun (18) luka tembak kaki kiri, 6.Lukman (25) luka tembak kaki kiri, dan 7 Matahan (38) luka dikaki kiri dan 8. Jefi (26) luka bakar
Mendapat kabar dari anak almarhum bahwa ayahnya meninggal karena ditembak Brimob sekitar 500 orang dari 10 desa datang ke pos Brimob untuk melakukan perlawanan, namun karena tidak ada lagi orang, maka pelampiasan kemarahan dilakukan dalam bentuk pembakaran mes perkantoran dan sarana lainnya milik PT.BSMI.
B. Akibat yang Terjadi
Akibat yang ditimbulkan dari bentrokan ini yaitu ada tujuh orang tewas. Korban yang meninggal tersebut terdiri tiga orang warga dan empat orang satpam perusahaan. Korban yang tewas itu antara lain adalah Syafei (18) leher putus dan terkena luka tembak serta Matchan bin Sulaiman (21) kena tujah dengan telinga kiri nyaris putus. Sedangkan satu warga lainnya belum diketahui identitasnya. Selain itu pihak satpam perusahaan pun hingga kini belum diketahui identitas korban yang tewas. Kondisi korban dari pihak perusahaan sangat menggenaskan.Asisten kebun Hambali, misalnya.Kondisi kepalanya nyaris putus.Ia menderita luka bacok di punggung membelah hingga ke pinggang. Kemudian luka tusuk di bagian pinggang kiri dan  bagian perut. Korban Hambali adalah adik bungsu dari H Fansyuri, sekretaris Dinas Peternakan Kabupaten OKI.
Pembantaian terhadap karyawan PT SWA, asisten kebun Haris Fadillah (23) tak kalah sadis. Kepalanya putus, telapak tangan kanannya dipotong tetapi tidak sampai putus dan dia digantung pada tiang listrik.Kemudian semua identitasnya diambil. Namun petugas kepolisian (Brimob) menemukan sebuah dompet yang diperkirakan milik korban berisi KTP, SIM serta kartu-kartu lain atas nama Haris Fadillah (23) beralamat di Desa Mulya Guna, Kecamatan Teluk Gelam.
Adapun upaya pengamanan yang dilakukan oleh pihak kepolisisan yaitu dengan menerjunkan  dua peleton Brimob Polda Sumsel ke lokasi sehingga berhasil menguasai kebun PT SWA yang diduduki warga, pascabentrok, pukul 12.00 WIB, Kamis (21/4). Mereka di-back up Polres OKI, Polsek Mesuji, dan polsek terdekat. Sebaliknya, warga enam desa Sungai Sodong, Sungai Tepuk, Pagar Dewo, Curang Kuali, Tebing Suluh, dan Pematang Panggang yang terlibat penyerbuan, berjaga-jaga di desanya masing-masing. Selain juga melayat dan ikut memakamkan jenazah warga desanya yang tewas.
Mediator korban kasus Mesuji, Mayjen (Purn) Saurip Kadi, kembali menegaskan bahwa korban bentrokan antara warga Mesuji dan perusahaan pemilik perkebunan sawit tersebut memang diperkirakan 30 orang. “Terserah institusi lain mengatakan hanya sembilan saja. Yang benar 30 orang korbannya,” ujar Saurip saat menghadiri diskusi “Kasus Mesuji, Fakta atau Rekayasa” di Kedai Kopi Bhineka, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (23/12/2011).
Selain itu, untuk membuktikan data tersebut, kata Saurip, dalam beberapa waktu ke depan pihaknya akan melakukan testimoni di hadapan media bersama orangtua dan keluarga korban Mesuji. “Nanti kami akan lakukan testimoni.Saya bawa semua orangtua korbannya dan keluarga mereka itu.Biar mereka yang akan menceritakan sendiri bagaimana anaknya dibunuh,” ujar Saurip.
Seperti yang diketahui, jawaban Saurip ini dilontarkan untuk membantah keterangan dari pihak Polri yang menyebut korban tewas dari peristiwa Mesuji di Sumatera Selatan dan Lampung hanya sembilan orang. Sembilan orang itu terdiri atas 2 korban tewas dari pihak warga saat terjadi bentrokan dengan Pam Swakarsa PT SWA, kemudian 5 karyawan PT SWA, di mana dua di antaranya anggota Pam Swakarsa yang dipenggal warga. Peristiwa itu terjadi di Kecamatan Sungai Sodong, Ogan Komering Ilir, Sumsel, 21 April 2011.
Sementara itu, satu korban lagi atas nama Made Asta adalah korban tembak saat bentrok dengan aparat serta petugas keamanan dari PT Silva Inhutani. Korban terakhir atas nama Zaelani, yang menjadi korban dalam bentrokan yang terjadi antara warga dan petugas dari PT BSMI. Kedua peristiwa ini terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung.Polri menyebut belum ditemukan data yang jelas terkait 30 orang seperti yang disebut warga Lampung.Akan tetapi sebelumnya Polri mengatakan sudah menindak dua anggotanya yang diduga terlibat dalam kasus mesuji lampung antara warga dengan PT Silva Inhutani.
Dalam kasus Mesuji Lampung antara PT BSMI dengan warga ini, ada 5 orang terkena luka tembak dan 1 di antaranya meninggal. Identitas mereka yang tertembak adalah:
1. Muslim, 17 tahun, tertembak di kaki kanan.
2. Robin, 17 tahun, tertembak di kaki kiri.
3. Rano Karno, 26 tahun, luka di tangan dan perut sebelah kiri.
4. Harun, 17, tertembak di tumit kiri.
5. Zaelani, meninggal dunia.
C. Peran pemerintah dalam menangani kasus pembantaian di Mesuji
Untuk mengatasi masalah tersebut dan agar tidak memakan korban lebih banyak ada beberapa solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu mencabut Undang-Undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 karena Undang-Undang  ini menjadi sumber konflik agraria. Dan Negara harus segera menjalankan amanat UU Pembaruan Agraria No. 5 tahun 1960 secara sungguh-sungguh," tegasnya.
Ketua Komisi Nasional Ham Asasi Manusia, Ifdal Kasim, menyatakan bahwa pembunuhan keji terhadap warga Mesuji, Lampung, adalah kasus lama yang terjadi pada awal 2011. Komnas HAM bahkan sudah sejak lama melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib. “Kasus itu sudah pernah kami selidiki, bahkan kami sampaikan dan laporkan ke polisi. Tapi belum ada tindakan sampai sekarang, seperti dibiarkan,” kata Ifdal ketika dihubungi VIVAnews. Ia pun menyesalkan polisi yang tidak cepat mengusut konflik Mesuji yang berakhir dengan pembunuhan bahkan pembantaian tersebut.
Berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI, termasuk memanggil para korban dan saksi kasus Mesuji untuk mengadakan dengar pendapat di DPR RI. Sementara itu, Presiden RI telah menginstruksikan jajaran terkait untuk menindak tegas pihak-pihak yang memperkeruh suasana hingga menimbulkan tragedi berdarah di Mesuji. Demikian juga gubernur dan bupati bersangkutan telah pula dimintai keterangan mengingat sumber masalah berada di tingkat provinsi dan kabupaten.
Menyikapi kasus Mesuji, beberapa lembaga independen seperti Kontras dan FPI telah terjun ke lapangan menjadi penengah diantara pihak – pihak yang bersengketa. Dalam hal ini Kontras telah melakukan investigasi dan verifikasi laporan yang disampaikan korban, terutama pada laporan terjadinya pemenggalan kepala.
Dalam hal ini Kontras juga melakukan kordinasi dengan Komnas HAM agar laporan dari Komnas HAM terhindar dari ketidakindependensian (contradicty intermeanis). Mengenai pamswakarsa, Kontras berkata bahwa para petugas pamswakarsa yang bertugas dilapangan tidak ada hubungannya dengan penduduk setempat, mereka kebanyakan berasal dari luar, jadi tidak ada rasa toleran untuk menindak warga yang menentang.
Sedangkan dari Front Pembela Islam (FPI) sengaja melibatkan diri untuk menyatukan warga dengan harapan agar perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat setempat bisa diatasi. Belakangan ini FPI sudah turun ke lapangan dan bendera FPI sudah ditancapkan di sana. Tidak hanya FPI saja tapi juga belasan eleman lainnya.
Belajar Dari Kasus Mesuji Di zaman otonomi daerah sekarang ini persoalan tanah memungkinkan lebih cepat muncul. Sebab setiap daerah dituntut untuk kreatif dalam rangka memacu pembangunan daerahnya. Berbagai macam cara dilakukan, mulai membuat peraturan daerah (perda), promosi ke berbagai daerah dan mancanegara sampai mengundang investor (pemodal).
Bagi pihak investor, kalkulasi ekonomis lebih dikedepankan, sedangkan bagi pemerintah daerah, kalkulasi penambahan penghasilan pendapatan daerah berupa pajak dari para investor adalah sebuah harapan kedepannya. Walaupun usaha mendatangkan investor berhasil, namun setelah investor menanamkan modalnya seringkali memunculkan banyak masalah, salah satunya adalah masalah tanah tersebut. 
Di Nunukan mengingat posisi penting tanah ini memungkinkan untuk terjadinya kasus serupa jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Bagi masyarakat Nunukan, tanah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, sumber produksi atau pendapatan tetapi juga mempunyai fungsi sosial dimana tanah tersebut mencerminkan kedudukan sosial dan status seseorang di tengah masyarakat. Eksistensi tanah di Nunukan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Bagi para pendatang, tanah memiliki nilai ekonomis sebab dijadikan lahan bercocok tanam dan beternak. Beberapa lahan masyarakat tani di Nunukan telah ditanami sawit dan telah berproduksi sejak 10 tahun terakhir; sedangkan bagi warga tempatan, tanah bukan saja bernilai ekonomis, namun juga memiliki hubungan menyejarah dan menjadi rantai penghubung antara generasi masa lalu dengan generasi hari ini dan akan datang.

Begitu pentingnya keberadaan tanah di daerah ini, kekuatiran akan terjadinya kasus serupa seperti di Mesuji perlu diantisipasi kedepannya. Dari kasus Mesuji tersebut masalah tanah merupakan hal penting untuk diselesaikan. Beberapa langkah kongrit agar kasus di Mesuji tidak terjadi di daerah ini diantaranya: Pertama, perlu adanya peraturan yang memihak kepada masyarakat yang masuk dalam pemetaan areal perkebunan, yang memberi manfaat dan keuntungan. Agar masyarakat tidak merasa dirugikan dengan berbagai macam kebijakan yang dibuat. Sehingga masyarakat yang ada disekitar areal perkebunan merasa memiliki.

Kedua, perlunya keterbukaan dan peran serta (partisipatif) masyarakat dalam mencari solusi masalah pertanahan khususnya ijin lokasi perkebunan. Prosedur administratif perizi¬nan misalnya, merupakan instrumen yang paling baik dalam rangka pencegahan masalah tanah.

Karena melalui hal tersebut maka ada semacam alat kontrol dalam bertindak terutama bagi pengusaha dalam pengelolahan perkebunan. Demikian juga keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menimbulkan dampak penting terhadap sumberdaya perke¬bunan tersebut perlu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian saluran sarana hukum peran serta masyarakat dilaksanakan dalam bentuk hak untuk mengambil bagian dalam prosedur administratif misalnya public hearing dan sebagainya. Dalam hal ini peranan masyarakat merupakan prosedur hukum administratif yang memberi andil kepada efisiensi dalam proses pengambilan dan kualitas keputusan.

Ketiga, adanya bagi hasil yang jelas dan adil antara masyarakat tani setempat dengan pihak perusahaan perkebunan. Misalnya dengan sistem plasma yang harus menguntungkan kedua belah pihak. Masyarakat diareal perusahaan perkebunan merasa menikmati hasil perkebunan, begitu juga dengan pihak perusahaan perkebunan. Terbingkainya sistem pembagian yang jelas dan adil memungkinkan terhindarnya masalah tanah kedepannya.
Keempat, perlunya aturan pelepasan kawasan masyarakat yang jelas, yang dimediasi oleh pemerintah; perlu diingat bahwa dalam kawasan yang dipetakan oleh perusahaan perkebunan, bisa saja terdapat hak ulayat, hak milik, hak garap, dan berbagai potensi/sumber daya dan fasilitas diatas lahan – lahan tersebut. Terlebih jika diatas lahan yang dipetakan terdapat fasilitas social seperti sekolah dan sarana ibadah yang rawan menimbulkan konflik berbau sara.
Kelima, mengutamakan azas musyawarah dan mufakat dalam mencari solusi masalah tanah khususnya persoalan perkebunan. Hindari aksi vandalism sebab pengunaan aksi kekerasan bukan hanya memperkeruh suasana namun juga membuat kerugian yang besar baik bagi masyarakat di areal perkebunan dan perusahaan perkebunan itu sendiri.
Akhirnya kasus Mesuji merupakan salah satu contoh kasus yang harus kita pahami dan resapi sebagai langkah awal untuk membangun negeri ini terbebas dari masalah tanah, khususnya antara masyarakat diareal perkebunan dengan pihak perusahaan perkebunan. Mengingat di Nunukan banyak sekali permasalahan tanah ini muncul ketika  para investor menanamkan modalnya di ranah Pagun Taka ini. Untuk itu perlu kiranya semua elemen masyarakat yang ada, mulai bergendengan tangan memecahkan persoalan tanah sehinga tidak ada pihak yang terugikan lagi, masyarakat hidup dengan tentram, demikian juga para investor senang menginvestasikan modalnya. Harapan kita bersama kasus seperti di Mesuji tidak terjadi di Kabupaten Nunukan.


0 komentar:

Post a Comment