Sunday, July 31, 2016

Filled Under:

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

A.    PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Di Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 kabupaten yang masuk kategori daerah khusus atau daerah tertinggal. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa terdapat 6 (enam) daerah di Sumatera Utara yang masuk kategori tersebut. Keenam daerah itu adalah kabupaten Nias Selatan, Nias, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Dairi, dan Samosir.
Berdasarkan update data NUPTK per Nopember 2010 yang dikelola oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Sumatera Utara, saat ini terdapat 5.029 guru di kabupaten Nias Selatan; 2.787 guru di Nias; 5.250 guru di Tapanuli Tengah; 1.402 guru di Pakpak Bharat; 4.626 guru di Dairi; dan 2.463 guru di Samosir.  Data ini belum termasuk kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya. Sedangkan data hasil monitoring Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara 2010 dari jumlah guru di Sumatera Utara sebanyak 186.663 guru yang tersebar di 33 kab/kota mencakup seluruh jenjang pendidikan mulai dari TK/RA hingga SMA/MA sederajat  diperoleh sebanyak 105.715 (56,63%) guru yang belum S1.
Pada hakikatnya, secara kuantitas jumlah guru yang mengabdi di daerah yang terkategori daerah tertinggal ini merupakan aset daerah. Hanya saja, tinggal polesan-polesan khusus untuk meningkatkan kualitas mereka secara merata dan berkelanjutan. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah peluang yang dalam transformasinya berubah menjadi sebuah kekuatan tersendiri dalam upaya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di daerah.
Saat ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah tertinggal. Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak terstruktur dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif. Fenomena ini dapat dimengerti karena memang upaya peningkatan kompetensi guru tidak dijadikan sebagai salah satu solusi yang diprioritaskan khususnya dalam pembangunan pendidikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pelatihan atau upaya-upaya peningkatan mutu guru itu sendiri, sehingga ini berkorelasi erat dengan kemampuan mengajarnya di sekolah. Jika hal ini tidak diberi perlakuan khusus tentu saja akan semakin memperburuk kualitas proses belajar mengajar di sekolah.
Pemerintah daerah dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya lainnya dapat saja bekerja sama dengan berbagai institusi atau lembaga yang memiliki komitmen untuk kemajuan pendidikan. Secara bertahap, merata dan berkelanjutan berupaya untuk meningkatkan kompetensi guru. LPTK dan LPMP misalnya, yang merupakan lembaga atau institusi yang selama ini terus aktif berkecimpung dalam perbaikan mutu dapat diajak bekerja sama secara lebih intensif. Terlepas dari itu, LPMP saat ini terus mengembangkan program-program pemetaan kompetensi guru secara optimal, baik melalui uji kompetensi guru maupun quality mapping (pemetaan mutu).

B.     FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI ENAM DAERAH DI SUMATERA UTARA
1.      Kondisi geografis.
Dapat dipahami bahwa kondisi geografis ternyata menjadi salah satu penghambat ketercapaian akses dan pemerataan pendidikan.
2.      Kesenjangan akses pendidikan.
Kesenjangan akses pendidikan antara desa dan kota atau daerah terpencil dengan daerah perkotaan merupakan salah satu penyebab tidak meratanya mutu pendidikan. Guru yang tinggal di daerah perkotaan mendapat akses yang lebih baik terhadap hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan mutu guru seperti informasi dan fasilitasi pendidikan, Sementara guru di pedalaman atau bahkan di daerah terpencil tidak seberuntung itu.
3.      Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang berakibat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di daerah turut menjadi faktor penyebab ketimpangan mutu.

4.      Keterbatasan sarana dan prasarana.
Adanya keterbatasan prasarana dan sarana yang menyebabkan masyarakat pendidikan kesulitan untuk melakukan aktifitas pendidikan.
5.      Rendahnya kualitas guru yang ada di daerah terpencil.
Saat ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah tertinggal. Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak terstruktur dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif.

C.     STRATEGI PEMERINTAH UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI DAERAH SUMATERA UTARA
Untuk mendukung program pembangunan dalam rangka percepatan pemenuhan akses dan pemerataan mutu pendidikan, ada beberapa program strategis yang seharusnya dilakukan bersama, baik antara pemerintah, pemerintah daerah, dan stakeholders pendidikan lainnya. Dengan meng-GARAP pembangunan pendidikan di daerah tertinggal diharapkan sinergis dengan pencapaian dan pemenuhan hak masyarakat dalam mengenyam pendidikan yang berkualitas.
Program GARAP yang dimaksud di sini adalah akronim dari Gateway, Acceleration, Rearrangement, Accessibility, dan Professional Teacher.
Pertama; Gateway (kemitraan). Tidak bisa dikesampingkan bahwa dalam proses pembangunan pendidikan di daerah dibutuhkan pola kemitraan yang solid. Pola kemitraan dikembangkan tidak saja dengan sesama institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan, namun juga dengan institusi atau lembaga lainnya, misalnya dengan dunia usaha atau bisnis.
Penguatan kemitraan di tingkat sekolah dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas diperankan oleh kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua dengan masyarakat atau dunia usaha. Untuk tingkat institusi pendidikan penguatan dikembangkan secara legal formil dengan UPT Pusat Kementerian Pendidikan Nasional, Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK), akademisi dan praktisi pendidikan dengan dunia usaha.
Kemitraan solid sangat diperlukan, terutama dalam upaya pemerataan pendidikan untuk menopang pembangunan masyarakat berkualitas di daerah. Dengan pola kemitraan yang terbangun dan didasari oleh komitmen tinggi akan memunculkan sense of crisis dan sense of belonging antara para pelaku pendidikan itu sendiri.
Contoh kecil dan sederhana adalah pemanfaatan tanggung jawab sosial (CSR) dari BUMN/BUMD. Misalnya membangun pola kemitraan dengan provider telekomunikasi atau sejenisnya untuk melaksanakan pelatihan literasi ICT dasar untuk peningkatan kompetensi guru serta mengupayakan terwujudnya penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan daya saing sekolah di daerah penggiran/tertinggal. Pola kemitraan ini telah pernah dilakukan oleh LPMP Provinsi Sumatera Utara di beberapa daerah, dan itu tergolong sukses untuk peningkatan kemampuan guru dalam mengoperasikan media pendidikan, komunikasi, dan informasi.
Pola Kemitraan dapat juga dibangun melalui kerjasama dengan LPMP, LPTK dan Stakeholder lain berupa penguatan pengelolaan sekolah melaui peningkatan kompetensi kepala sekolah dan pengawas untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kerjasama ini bertujuan untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sekolah sebagai satuan pendidikan yang dapat diunggulkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan di daerah yang dikategorikan tertinggal atau daerah pedalaman.
Kedua; Acceleration (Percepatan). Dengan kondisi geografis yang cukup sulit, tentu saja akses informasi dan implementasi program kerja pendidikan akan terhambat. Akibatnya tidak semua satuan pendidikan dapat secara cepat dan optimal menerima, mengadopsi atau melaksanakan program-program stategis pendidikan yang dikeluarkan baik oleh kementerian maupun oleh dinas pendidikan sendiri.
Untuk itu harus dilakukan akselerasi distribusi informasi dan pendampingan secara maksimal berbagai upaya percepatan pembangunan kualitas pendidikan di daerah. Seperti halnya dilakukan pendampingan langsung pada satuan pendidikan-satuan pendidikan yang berada di daerah tertinggal dalam hal implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Di mana, pendampingan tersebut difokuskan pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan dan layanan pendidikan melalui akselerasi penerapan SPMP.
Begitu juga termasuk di dalamnya adalah evaluasi diri sekolah (EDS) yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari otonomi sekolah menuju perbaikan kualitas sekolahnya sendiri. Akselerasi ini tentu saja melibatkan guru-guru di satuan pendidikan dimaksud karena mereka lah yang selama ini berperan cukup besar dalam menentukan kualitas pendidikan. Sehingga akhirnya diharapkan dapat mengeliminir ketertinggalan satuan pendidikan daerah tertinggal atau pedalaman dengan satuan pendidikan yang ada di daerah perkotaan.
Ketiga; Rearrangement (Penyusunan kembali pola penempatan guru). Salah satu penyebab lambatnya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di daerah pedalaman atau pelosok adalah kesenjangan tenaga pendidik. Kesenjangan ini tidak saja dari sisi kuantitas namun juga diperparah dari sisi kualitas pendidik. Cukup banyak satuan pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman yang kekurangan guru. Bahkan masih ada ditemui satu guru di satuan pendidikan yang mengampu beberapa mata pelajaran dan mengajar lebih dari satu rombongan belajar pada saat yang bersamaan.
Sementara itu, di daerah perkotaan malah terjadi kelebihan jumlah guru. Dan bahkan ada beberapa guru yang hanya kebagian sedikit jam mengajar karena harus berbagi dengan guru lainnya. Padahal di satu sisi mereka dituntut oleh aturan jumlah jam wajib mengajar. Solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan ini adalah pemerataan penyebaran guru di daerah-daerah pelosok atau pedalaman. Penyusunan kembali penempatan guru-guru di daerah tersebut harus dilakukan secara tepat, dan disesuaikan dengan kebutuhan satuan pendidikan. Guru-guru berkualitas yang dianggap mampu mendongkrak kualitas pendidikan dapat saja di drop ke daerah terpencil atau pedalaman. Dan di saat bersamaan, guru-guru yang selama ini mengajar di daerah tersebut terus di tingkatkan kualifikasi dan kompetensinya.
Penyusunan kembali pola dan strategi penempatan guru-guru untuk mengabdi di daerah tertinggal harus dilakukan. Pemenuhan dan penempatan guru di daerah dapat saja menggunakan pola teacher supply, demand, and quality. Ketimpangan penyebaran guru bisa berakibat buruk laksana sebuah epidemi pendidikan yang dapat menggerogoti secara lebih luas sumber daya manusia di daerah tersebut. Pemeratan penyebaran guru dengan kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan serta kualitas guru yang berimbang diharapkan akan terwujud pemerataan kualitas pendidikan antara daerah pedalaman dengan perkotaan.
Keempat; Accessibility (Aksesibilitas). Untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan setiap daerah memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, generasi yang mempunyai tingkat pendidikan yang memadai serta kemampuan yang cukup untuk menunjang proses pembangunan di daerah. Demi tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas tersebut diperlukan upaya-upaya untuk mempermudah akses pendidikan.
Terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan yang terjadi di suatu daerah tidak hanya berhubungan dengan pelaku pendidikan semata-mata. Kesenjangan itu juga merupakan cerminan dari ketidak-terpenuhinya aksesibilitas fisik dan non fisik. Artinya, kesenjangan kualitas pendidikan juga dengan sendirinya bermakna kesenjangan terhadap akses pendidikan.
Accessibility of education sepertinya masih merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Pemenuhan akses fisik berupa ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai mutlak dilakukan di saat kita berupaya untuk pemerataan mutu pendidikan. Disamping itu pemenuhan akses non fisik yang menunjang pembangunan pendidikan tidak kalah pentingnya, seperti upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi guru. Jika sebuah sekolah kecil di desa terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai, dan gedung sekolah yang tidak layak untuk dilaksanakan proses belajar mengajar serta guru yang tidak pernah di upgrade, dituntut untuk meningkatkan mutu sejajar dengan daerah lainnya. Ini lah permasalahan klasik yang selalu menggerogoti dunia pendidikan kita.
Kelima; Proffesional teacher. Lemah dan lambatnya upaya peningkatan mutu pendidikan salah satunya disebabkan oleh ketidak-profesionalan guru. Padahal kedudukan guru sebagai tenaga profesional berperan sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru sebagai ujung tombak dalam proses pencerdasan dan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas harus membangun penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas pula.
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa guru harus memiliki keahlian, kemahiran, dan kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma yang berlaku. Standar mutu yang ada merujuk pada aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan secara umum guru profesional harus memiliki bakat, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi, dan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Disamping itu, guru harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalannya secara berkelanjutan.
Ada banyak contoh program yang dapat dikembangkan dalam rangka asistensi pembentukan guru sebagai tenaga profesional, baik yang diterapkan pada individu maupun kelompok. Diantaranya adalah menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan minat, inovasi, dan kreatifitas para guru melalui program pengembangan profesional berkelanjutan; serta membangun jaringan komunikasi dan kerja sama antar profesi guru, baik di daerah tertinggal maupun daerah lain yang lebih maju. Sehingga untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman ditempatkan tenaga guru yang berkualitas dan profesional.

D.    IMPLEMENTASI POLTRANAS DALAM BIDANG PENDIDIKAN
1.      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.       Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.      Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
4.      Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
5.      Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manejemen.
6.      Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7.      Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.













0 komentar:

Post a Comment