A. PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI PROVINSI
SUMATERA UTARA
Di
Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 kabupaten yang masuk kategori daerah khusus
atau daerah tertinggal. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi
Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa terdapat 6 (enam) daerah di
Sumatera Utara yang masuk kategori tersebut. Keenam daerah itu adalah kabupaten
Nias Selatan, Nias, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Dairi, dan Samosir.
Berdasarkan
update data NUPTK per Nopember 2010 yang dikelola oleh Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) Provinsi Sumatera Utara, saat ini terdapat 5.029 guru di
kabupaten Nias Selatan; 2.787 guru di Nias; 5.250 guru di Tapanuli Tengah;
1.402 guru di Pakpak Bharat; 4.626 guru di Dairi; dan 2.463 guru di
Samosir. Data ini belum termasuk kepala
sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya. Sedangkan data hasil
monitoring Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara 2010 dari jumlah guru di
Sumatera Utara sebanyak 186.663 guru yang tersebar di 33 kab/kota mencakup
seluruh jenjang pendidikan mulai dari TK/RA hingga SMA/MA sederajat diperoleh sebanyak 105.715 (56,63%) guru yang
belum S1.
Pada
hakikatnya, secara kuantitas jumlah guru yang mengabdi di daerah yang
terkategori daerah tertinggal ini merupakan aset daerah. Hanya saja, tinggal
polesan-polesan khusus untuk meningkatkan kualitas mereka secara merata dan
berkelanjutan. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah peluang yang
dalam transformasinya berubah menjadi sebuah kekuatan tersendiri dalam upaya
perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di daerah.
Saat
ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah
tertinggal. Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak
terstruktur dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif. Fenomena ini
dapat dimengerti karena memang upaya peningkatan kompetensi guru tidak
dijadikan sebagai salah satu solusi yang diprioritaskan khususnya dalam
pembangunan pendidikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
pelatihan atau upaya-upaya peningkatan mutu guru itu sendiri, sehingga ini
berkorelasi erat dengan kemampuan mengajarnya di sekolah. Jika hal ini tidak
diberi perlakuan khusus tentu saja akan semakin memperburuk kualitas proses
belajar mengajar di sekolah.
Pemerintah
daerah dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya lainnya dapat saja bekerja
sama dengan berbagai institusi atau lembaga yang memiliki komitmen untuk
kemajuan pendidikan. Secara bertahap, merata dan berkelanjutan berupaya untuk
meningkatkan kompetensi guru. LPTK dan LPMP misalnya, yang merupakan lembaga
atau institusi yang selama ini terus aktif berkecimpung dalam perbaikan mutu
dapat diajak bekerja sama secara lebih intensif. Terlepas dari itu, LPMP saat
ini terus mengembangkan program-program pemetaan kompetensi guru secara
optimal, baik melalui uji kompetensi guru maupun quality mapping (pemetaan
mutu).
B.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI ENAM DAERAH DI SUMATERA UTARA
1. Kondisi geografis.
Dapat dipahami bahwa
kondisi geografis ternyata menjadi salah satu penghambat ketercapaian akses dan
pemerataan pendidikan.
2. Kesenjangan akses pendidikan.
Kesenjangan akses
pendidikan antara desa dan kota atau daerah terpencil dengan daerah perkotaan
merupakan salah satu penyebab tidak meratanya mutu pendidikan. Guru yang
tinggal di daerah perkotaan mendapat akses yang lebih baik terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan peningkatan mutu guru seperti informasi dan fasilitasi
pendidikan, Sementara guru di pedalaman atau bahkan di daerah terpencil tidak
seberuntung itu.
3. Rendahnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan.
Rendahnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan yang berakibat mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia di daerah turut menjadi faktor penyebab ketimpangan mutu.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana.
Adanya keterbatasan
prasarana dan sarana yang menyebabkan masyarakat pendidikan kesulitan untuk
melakukan aktifitas pendidikan.
5. Rendahnya kualitas guru yang ada di
daerah terpencil.
Saat ini terjadi
ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah tertinggal.
Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak terstruktur
dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif.
C. STRATEGI PEMERINTAH UNTUK MENGATASI
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI DAERAH SUMATERA UTARA
Untuk mendukung program pembangunan
dalam rangka percepatan pemenuhan akses dan pemerataan mutu pendidikan, ada
beberapa program strategis yang seharusnya dilakukan bersama, baik antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan stakeholders pendidikan lainnya. Dengan
meng-GARAP pembangunan pendidikan di daerah tertinggal diharapkan sinergis
dengan pencapaian dan pemenuhan hak masyarakat dalam mengenyam pendidikan yang
berkualitas.
Program GARAP yang dimaksud di sini
adalah akronim dari Gateway, Acceleration, Rearrangement, Accessibility, dan
Professional Teacher.
Pertama; Gateway (kemitraan). Tidak bisa
dikesampingkan bahwa dalam proses pembangunan pendidikan di daerah dibutuhkan
pola kemitraan yang solid. Pola kemitraan dikembangkan tidak saja dengan sesama
institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan,
namun juga dengan institusi atau lembaga lainnya, misalnya dengan dunia usaha
atau bisnis.
Penguatan kemitraan di tingkat sekolah
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas diperankan oleh
kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua dengan masyarakat atau dunia
usaha. Untuk tingkat institusi pendidikan penguatan dikembangkan secara legal
formil dengan UPT Pusat Kementerian Pendidikan Nasional, Lembaga Pendidik
Tenaga Kependidikan (LPTK), akademisi dan praktisi pendidikan dengan dunia
usaha.
Kemitraan solid sangat diperlukan,
terutama dalam upaya pemerataan pendidikan untuk menopang pembangunan
masyarakat berkualitas di daerah. Dengan pola kemitraan yang terbangun dan
didasari oleh komitmen tinggi akan memunculkan sense of crisis dan sense of
belonging antara para pelaku pendidikan itu sendiri.
Contoh kecil dan sederhana adalah
pemanfaatan tanggung jawab sosial (CSR) dari BUMN/BUMD. Misalnya membangun pola
kemitraan dengan provider telekomunikasi atau sejenisnya untuk melaksanakan
pelatihan literasi ICT dasar untuk peningkatan kompetensi guru serta
mengupayakan terwujudnya penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah,
sehingga dapat meningkatkan kualitas dan daya saing sekolah di daerah
penggiran/tertinggal. Pola kemitraan ini telah pernah dilakukan oleh LPMP
Provinsi Sumatera Utara di beberapa daerah, dan itu tergolong sukses untuk
peningkatan kemampuan guru dalam mengoperasikan media pendidikan, komunikasi,
dan informasi.
Pola Kemitraan dapat juga dibangun
melalui kerjasama dengan LPMP, LPTK dan Stakeholder lain berupa penguatan
pengelolaan sekolah melaui peningkatan kompetensi kepala sekolah dan pengawas
untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kerjasama ini bertujuan untuk
peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sekolah sebagai satuan
pendidikan yang dapat diunggulkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan di daerah
yang dikategorikan tertinggal atau daerah pedalaman.
Kedua; Acceleration (Percepatan). Dengan
kondisi geografis yang cukup sulit, tentu saja akses informasi dan implementasi
program kerja pendidikan akan terhambat. Akibatnya tidak semua satuan
pendidikan dapat secara cepat dan optimal menerima, mengadopsi atau
melaksanakan program-program stategis pendidikan yang dikeluarkan baik oleh
kementerian maupun oleh dinas pendidikan sendiri.
Untuk itu harus dilakukan akselerasi
distribusi informasi dan pendampingan secara maksimal berbagai upaya percepatan
pembangunan kualitas pendidikan di daerah. Seperti halnya dilakukan
pendampingan langsung pada satuan pendidikan-satuan pendidikan yang berada di
daerah tertinggal dalam hal implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan
(SPMP). Di mana, pendampingan tersebut difokuskan pada upaya peningkatan
kualitas pengelolaan dan layanan pendidikan melalui akselerasi penerapan SPMP.
Begitu juga termasuk di
dalamnya adalah evaluasi diri sekolah (EDS) yang pada dasarnya merupakan bagian
integral dari otonomi sekolah menuju perbaikan kualitas sekolahnya sendiri.
Akselerasi ini tentu saja melibatkan guru-guru di satuan pendidikan dimaksud
karena mereka lah yang selama ini berperan cukup besar dalam menentukan
kualitas pendidikan. Sehingga akhirnya diharapkan dapat mengeliminir
ketertinggalan satuan pendidikan daerah tertinggal atau pedalaman dengan satuan
pendidikan yang ada di daerah perkotaan.
Ketiga; Rearrangement (Penyusunan
kembali pola penempatan guru). Salah satu penyebab lambatnya perbaikan dan
peningkatan kualitas pendidikan di daerah pedalaman atau pelosok adalah
kesenjangan tenaga pendidik. Kesenjangan ini tidak saja dari sisi kuantitas
namun juga diperparah dari sisi kualitas pendidik. Cukup banyak satuan
pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman yang kekurangan guru. Bahkan
masih ada ditemui satu guru di satuan pendidikan yang mengampu beberapa mata
pelajaran dan mengajar lebih dari satu rombongan belajar pada saat yang
bersamaan.
Sementara itu, di daerah perkotaan malah
terjadi kelebihan jumlah guru. Dan bahkan ada beberapa guru yang hanya kebagian
sedikit jam mengajar karena harus berbagi dengan guru lainnya. Padahal di satu
sisi mereka dituntut oleh aturan jumlah jam wajib mengajar. Solusi yang efektif
dalam mengatasi permasalahan ini adalah pemerataan penyebaran guru di
daerah-daerah pelosok atau pedalaman. Penyusunan kembali penempatan guru-guru
di daerah tersebut harus dilakukan secara tepat, dan disesuaikan dengan
kebutuhan satuan pendidikan. Guru-guru berkualitas yang dianggap mampu
mendongkrak kualitas pendidikan dapat saja di drop ke daerah terpencil atau
pedalaman. Dan di saat bersamaan, guru-guru yang selama ini mengajar di daerah
tersebut terus di tingkatkan kualifikasi dan kompetensinya.
Penyusunan kembali pola dan strategi
penempatan guru-guru untuk mengabdi di daerah tertinggal harus dilakukan.
Pemenuhan dan penempatan guru di daerah dapat saja menggunakan pola teacher
supply, demand, and quality. Ketimpangan penyebaran guru bisa berakibat buruk
laksana sebuah epidemi pendidikan yang dapat menggerogoti secara lebih luas
sumber daya manusia di daerah tersebut. Pemeratan penyebaran guru dengan
kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan serta kualitas guru yang berimbang
diharapkan akan terwujud pemerataan kualitas pendidikan antara daerah pedalaman
dengan perkotaan.
Keempat; Accessibility (Aksesibilitas).
Untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan setiap daerah memerlukan sumber
daya manusia yang berkualitas, generasi yang mempunyai tingkat pendidikan yang
memadai serta kemampuan yang cukup untuk menunjang proses pembangunan di
daerah. Demi tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas tersebut
diperlukan upaya-upaya untuk mempermudah akses pendidikan.
Terjadinya kesenjangan kualitas
pendidikan yang terjadi di suatu daerah tidak hanya berhubungan dengan pelaku
pendidikan semata-mata. Kesenjangan itu juga merupakan cerminan dari
ketidak-terpenuhinya aksesibilitas fisik dan non fisik. Artinya, kesenjangan
kualitas pendidikan juga dengan sendirinya bermakna kesenjangan terhadap akses
pendidikan.
Accessibility of education sepertinya
masih merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Pemenuhan
akses fisik berupa ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai
mutlak dilakukan di saat kita berupaya untuk pemerataan mutu pendidikan.
Disamping itu pemenuhan akses non fisik yang menunjang pembangunan pendidikan
tidak kalah pentingnya, seperti upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi
guru. Jika sebuah sekolah kecil di desa terpencil yang tidak memiliki fasilitas
memadai, dan gedung sekolah yang tidak layak untuk dilaksanakan proses belajar
mengajar serta guru yang tidak pernah di upgrade, dituntut untuk meningkatkan
mutu sejajar dengan daerah lainnya. Ini lah permasalahan klasik yang selalu
menggerogoti dunia pendidikan kita.
Kelima; Proffesional teacher. Lemah dan
lambatnya upaya peningkatan mutu pendidikan salah satunya disebabkan oleh
ketidak-profesionalan guru. Padahal kedudukan guru sebagai tenaga profesional
berperan sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru
sebagai ujung tombak dalam proses pencerdasan dan pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas harus membangun penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas pula.
Guru sebagai tenaga profesional
mengandung arti bahwa guru harus memiliki keahlian, kemahiran, dan kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma yang berlaku. Standar mutu yang ada
merujuk pada aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan secara umum guru
profesional harus memiliki bakat, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi,
dan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Disamping itu,
guru harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalannya secara
berkelanjutan.
Ada banyak contoh program yang dapat
dikembangkan dalam rangka asistensi pembentukan guru sebagai tenaga
profesional, baik yang diterapkan pada individu maupun kelompok. Diantaranya
adalah menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan minat, inovasi, dan kreatifitas
para guru melalui program pengembangan profesional berkelanjutan; serta
membangun jaringan komunikasi dan kerja sama antar profesi guru, baik di daerah
tertinggal maupun daerah lain yang lebih maju. Sehingga untuk mengejar
ketertinggalan kualitas pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman
ditempatkan tenaga guru yang berkualitas dan profesional.
D. IMPLEMENTASI POLTRANAS DALAM BIDANG
PENDIDIKAN
1.
Mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.
Meningkatkan kemampuan akademik dan
profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa
lembaga dan tenaga kependidikan.
3.
Melakukan
pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat,
serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
4.
Memberdayakan
lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
5.
Melakukan
pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan dan manejemen.
6.
Meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7.
Mengembangkan
kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan
menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen
bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak
dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
0 komentar:
Post a Comment