Sunday, July 31, 2016

Filled Under:

teori belajar kognitif

1 Pengertian teori belajar kognitif
Salah satu teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 adalah teori belajar kognitif, yaitu teori belajar yang melibatkan proses berfikir secara komplek dan mementingkan proses belajar. Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar Kognitif berbeda dengan teori belajar Behavioristik.  Teori belajar kognitif melibatkan proses berfikir secara komplek dan lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya.  Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon.  Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon yang bersifat mekanistik, tetapi kegiatan belajar yang juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam individu yang sedang belajar. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual.  Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.  Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan konteks situasi tersebut.  Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.  Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
2.2 Pandangan teori belajar kognitif
Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.       Pengetahuan Deklaratif
Yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
b.      Pengetahuan Prosedural
Yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”. Contoh : menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut.
c.       Pengetahuan Kondisional
Pengetahuan adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan. Seperti.siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
2.3 Tokoh-tokoh yang mengemukakan teori belajar kognitif
            Terdapat pakar-pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif, antara lain :
  1. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
 Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap, antara lain :
1.    Tahap sensory – motor, yaitu perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana. Ciri-ciri tahap sensorimotor :
a.    Didasarkan tindakan praktis.
b.    Inteligensi bersifat aksi, bukan refleksi.
c.    Menyangkut jarak yang pendek antara subjek dan objek.
d.   Mengenai periode sensorimotor
e.    Umur hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pd banyak faktor: lingkungan sosial dan kematangan fisik.
f.     Urutan periode tetap.
g.    Perkembangan gradual dan merupakan proses yang kontinu.
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

2.    Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. (benda padat tenggelam). Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak. Kemajuan pemikiran Praoperasional menurut Piaget:
a.        Fungsi simbolis (Symbolic function): kemampuan anak menggunakan representasi mental (kata-kata, angka, atau gambar). Anak dapat membayangkan bahwa benda atau orang memiliki properti-properti selain dari sebenarnya mereka miliki. Contoh: Romi berpura-pura bahwa sepotong pisang adalah sebuah penyedot debu yang “menderu” di atas meja makan.
b.       Pemanahaman identitas: kemampuan anak menyadari bahwa perubahan artifisial tidak akan mengubah sifat suatu hal. Contoh: Toni tahu bahwa meskipun gurunya berpakaian seorang bajak laut, di balik kostum itu gurunya tetap menjadi seorang guru bukan bajak laut.
c.        Pemahaman sebab-akibat (transduction): kemampuan anak secara mental untuk mengkaitkan fenomena partikular, terlepas dari atau ada atau tidaknya sebab-akibat yang logis. Contoh: ketika melihat ada bola yang menggelinding dari balik dinding, Rafi mencari orang yang menendang bola tersebut dibalik dinding.
d.       Pemahaman terhadap angka: Kemampuan anak untuk dapat menghitung dan menangani kuantitas. Contoh: Lisa membagi beberapa permen dengan temannya, menghitung untuk memastikan bahwa masing-masing temannya mendapatkan jumlah yang sama.
e.        Kemampuan mengklasifikasikan: kemampuan anak untuk mengorganisasikan benda-benda, orang, dan kejadian ke dalam kategori yang bermakna. Contoh: Rosa memilah-milah biji cemara yang ia kumpulkan ketika berjalan-jalan sesuai dengan ukurannya yang besar atau kecil.
f.        Empati: Kemampuan anak utuk mulai lebih bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Contoh: Emi berusaha menghibur temannya ketika ia melihat temnnya itu sedang sedih.
g.       Teori tentang pikiran: kemampuan anak untu menyadari aktivitas mental dan fungi dari pikiran. Contoh: Caca ingin menyimpan kue untuk dirinya sendiri sehingga ia menyembunyikan kuenya dari kakanya di kotak pasta. Ia tahu bahwa kuenya akan aman karena kakanya tidak akan mencari kue di tempat di mana ia tidak mengharapkan akan menemukan kue.
3.    Tahap Operasional Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan. (tidak belajar ujiannya jelek)
4.    Tahap Operasional Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai dewasa)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. (korupsi tidak sesuai dengan norma-norma dmasyarakat, sosiologi)
Menurut Jean Piagiet, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a.         Asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif  yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai  informasi baru) itu yang disebut asimilasi.
b.        Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c.         Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap satu dengan tahap lainnya yang secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
  1. Teori Belajar Kognitif menurut Bruner
Berdasarkan Drs. Wasty Soemanto (1997:127) dan Drs. Bambang warsita (2008:71) dimana Jarome Bruner mengusulkana teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini bertitik tolak pada teori kognitif, yang menyatakan belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic.
a.    Tahap enaktif, yaitu  suatu tahap pembelajaran  sesuatu pengetahuan  di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata. Contoh : Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
b.    Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. Contoh : Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata
c.    Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya. Contoh :
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh :
Dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret, misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya. Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan  kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu  3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27).
Dalam proses pembelajaran diperlukannya suatu model agar mempermudah dalam penyampaian materi kepada siswa dan dalam proses pembelajaran nya lebih menyenangkan dan membawa siswa berfikir kritis dan aktif. Maka diberikan suatu Model Pembelajaran Discovery (Penemuan) yang bertujuan untuk membuat siswa lebih berfikir kritis dan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
Definisi dari model pembelajaran discovery (penemuan), bila ditinjau dari katanya,”discover” berarti menemukan dan “discovery”  adalah penemuan. Robert B menyatakan bahwa discovery adalah proses mental dimana anak/individu mengasimilasi konsep dan prinsip. (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya 2005:76). Dengan demikian pembelajaran discovery merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Pembelajaran discovery itu merupakan model dari Jerome Bruner seperti menurut Jumianto. Model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Sedangkan menurut pendapat yang lain belajar penemuan (Discovery learning) dari Jerome Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan konstruktivisme. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang siswa dikatakan melakukan discovery maka siswa terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan hal baru yang belum diketahui sebelumnya, tetapi gurunya sendiri sudah tahu apa yang akan diketahui sebelumnya, hal baru disini misalkan ingin menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, kemudian maksud dari hal baru tersebut merupakan hal baru untuk siswa yang sedang melakukan penemuan (discovery) saja. Proses-proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Di dalam discovery learning, tidak semua yang harus dipelajari dipresentasikan dalam bentuk yang final, beberapa bagian harus dicari, di identifikasikan oleh pelajar sendiri. Kemudian informasi itu di integrasikan ke dalam struktur kognitif yang baru. ( struktur kognitif adalah perangkat fakta-fakta, konsep–konsep, generalisasi-generalisasi yang terorganisasi yang telah dipelajari dan dikuasai seseorang). (Slameto,2003:24)
Model pembelajaran penemuan di bedakan menjadi 2, yaitu penemuan terbimbing atau terpimpin dan penemuan tidak terbimbing. Dalam model penemuan tidak terbimbing, guru hanya berfungsi sebagai pengawas, tidak membimbing dan tidak menyelesaikan masalah bagi siswa, siswa benar-benar di tuntut menyelesaikan masalah sendiri, Penemuan tidak terbimbing ini sulit dilaksanakan pada siswa tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat atas ataupun perguruan tinggi. Pada umumnya siswa masih memerlukan bimbingan, arahan selangkah demi selangkah untuk memahami hal-hal baru.
Penemuan (discovery) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan penyelidikan (inquiry) dan pemecahan masalah (problem solving), beberapa ahli membedakan antara penyelidikan (inquiry) dengan penemuan(discovery), sedangkan ahli-ahli lain menempatkan penyelidikan sebagai bagian dari penemuan, biasa disebut dengan inquiry-discovery, seperti di ungkapkan oleh Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005:76) yaitu pada inquiry, proses-prosesnya lebih luas dari pada discovery, yaitu mengandung proses-proses mental yang tingkatan nya lebih tinggi daripada discovery. Proses mental yang terdapat pada inquiry ini diantaranya adalah: merumuskan problema, membuat hipotesis, mendesain eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dilihat dari langkah-langkah dalam pembelajaran  inquiry, discovery learning juga mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Simulation. Guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2.      Problem Statemen. Anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi masalah.
3.      Data collection. Untuk membuktikan benar atau salah hipotesis ini, anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, mengamati objek, melakukan uji coba sendiri, dan lain-lain.
4.      Data processing. Semua hasil bacaan observasi dan sebagainya kemudian diolah, diklasifikasikan, bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
5.      Verification atau pembuktian. Berdasarkan hasil pengolahan data tafsiran atau informasi yang ada, hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terbukti atau tidak.
6.      Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil veripikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu. (Djamarah dan Zein, 2006:20)

Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
1.      Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2.      Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3.      Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4.      Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5.      Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
kekurangan dan kelebihan dari pembelajaran penemuan adalah sebagai berikut:
Beberapa kekurangan dan kelebihan menggunakan model pembelajaran discovery Bruner :
Ø  Kelemahan :
1.      Sangat menyita waktu, lebih-lebih jika dilakukan pada siswa yang berkemampuan rendah.
2.      Tidak dapat di jamin bahwa tetap bersemangat untuk menemukan.
3.      Tidak setiap guru mempunyai kemampuan mengajar menggunakan metode penemuan.
4.      Tidak setiap topik matematika dapat diajarkan dengan metode penemuan.
5.      Kurang efektif jika dilakukan untuk kelas dengan jumlah siswa besar, karena guru akan kesulitan membimbing., kelas akan ribut sehingga ketertiban kelas sulit di jaga.
Ø  Kelebihan
1.      Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2.      Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya.
3.      Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
4.      Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajar nya meningkat.
5.      Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
6.      Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri. Suherman, dkk (2001: 179)

  1. Teori Belajar Kognitif menurut Ausubel
Teori pembelajaran Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
1.        Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran
2.        Tentukan konsep-konsep yang relevan
3.        Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
4.        Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
5.        Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat relajar.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation. Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:
1.      Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. (langsung berhadapan dengan bendanya, konkret, siswa langsung menemukan maksud dalam pembelajaran).
2.      Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3.      Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
4.      Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.
Langkah-langkah  pembelajaran menurut Ausubel :
1.      Menentukan tujuan pembeajaran
2.      Melakukan identifikasi karakteristik siswa
3.      Memilih materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep.
4.      Menentukan topik-topik dan menampillkannya dalam bentuk advance orgainizer yang akan dipelajari siswa.
5.      Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menarapakannya dalam bentuk nyata atau konkret.
6.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

2.4 Aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran
Penerapan sesungguhnya ada dalam proses belajar, baik proses belajar dalam kelas ataupun diluar. Terpenting dalam penerapan teori kognitif ini dapat bermakna dan munuju pemahaman sesuai kemampuan individu dalam rentang waktu yang berbeda. Kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prisip sebagai berikut :
1.      Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2.      Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. Benda nyata sebagai objek belajarnya sehingga memudahkan menuju pemahaman. Misalnya mengenalkan tumbuhan juga sebagai mahluk hidup, diharapan siswa dapat melihat wujud tumbuhan didepannya. Tentunya belajar bukan hanya dalam kelas. Siswa bisa belajar diluar dengan bimbingan guru yang mengajar.
3.      Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4.      Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pemahaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
5.      Pemahan dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6.      Pemahaman dan retensi siswa akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna informasi yang ada harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, tugas guru adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7.      Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Hakikat belajar menurut teori kognitif yaitu aktifitas belajar yang berkaitan dengan ppenataan informasi, reorganisasi percetual, dan proses internal.
2.5 Implikasi teori belajar kognitif
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
  1. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
  2. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  3. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
  4. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar kognitif
1. Kelebihan Teori Belajar Kognitif
a.    Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri.
Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya merespon dan menerima rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan berfikir untuk dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan membuat siswa lebih mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa mengerjakan sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya sendiri untuk mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan.
b.    Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih mudah karena siswa sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran yang berpusat pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada lebih mudah dipahami.
2. Kelemahan Teori Belajar kognitif
a.       Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
b.      Sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.

c.       Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.

4 komentar:

  1. bermanfaat sekali, terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami. dasarguru.com

    https://www.dasarguru.com/teori-belajar-kognitif/

    Salam Hormat,

    ReplyDelete
  2. Bisakah mengetahui daftar pustakanya?

    ReplyDelete
  3. Kenapa teori kognitif sulit di praktikan di tingkat lanjut?

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimah kasih info tentang belajar kognitif...sangat membantu

      Delete