1 Pengertian teori belajar kognitif
Salah satu
teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 adalah teori belajar kognitif,
yaitu teori belajar yang melibatkan proses berfikir secara komplek dan
mementingkan proses belajar. Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition
artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition
(kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak
ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang
bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku
seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar
Kognitif berbeda dengan teori belajar
Behavioristik. Teori belajar kognitif melibatkan
proses berfikir secara komplek dan lebih mementingkan proses belajar dari
pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model
belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan
stimulus-respon yang
bersifat mekanistik, tetapi kegiatan belajar yang juga melibatkan kegiatan
mental yang ada di dalam individu yang sedang belajar. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori
belajar yang sering disebut sebagai model
perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah
laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan
persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku
yang nampak.
Teori
kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau
membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang
kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan
makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan
aspek-aspek kejiwaan lainnya. Proses belajar terjadi antara lain mencakup
pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif
yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan
pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
2.2
Pandangan teori belajar kognitif
Teori
belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana
orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi
pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan
dan memori.
Menurut
pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar.
Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan apa yang
akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan.
Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan
membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi
tiga bagian, yaitu:
a. Pengetahuan
Deklaratif
Yaitu
pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya
pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi
berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi
(setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya
gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara
menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan
pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
b. Pengetahuan
Prosedural
Yaitu
pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian
satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan
bagaimana”. Contoh : menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada
bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu
mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan
prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu
atau menterjemahkan teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu
berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan
prosedural hal tersebut.
c. Pengetahuan
Kondisional
Pengetahuan
adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan
prosedural digunakan. Seperti.siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih
dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum
melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional
ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan
penggunaan konsep dan prosedur yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan
dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya
mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
2.3
Tokoh-tokoh yang mengemukakan teori belajar kognitif
Terdapat pakar-pakar yang
mengemukakan teori belajar kognitif, antara lain :
- Teori
Belajar Kognitif menurut Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena
penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan
kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak
ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia
akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut Suhaidi Jean
Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap,
antara lain :
1. Tahap sensory – motor,
yaitu perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan
dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana. Ciri-ciri
tahap sensorimotor :
a. Didasarkan
tindakan praktis.
b. Inteligensi
bersifat aksi, bukan refleksi.
c. Menyangkut
jarak yang pendek antara subjek dan objek.
d. Mengenai
periode sensorimotor
e. Umur
hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pd banyak faktor: lingkungan
sosial dan kematangan fisik.
f. Urutan
periode tetap.
g. Perkembangan
gradual dan merupakan proses yang kontinu.
Dalam dua tahun pertama kehidupan
bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka
mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
2.
Tahap
Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam
tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak
menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. (benda padat
tenggelam). Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa
tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak
abstrak. Kemajuan pemikiran Praoperasional menurut Piaget:
a.
Fungsi simbolis
(Symbolic function): kemampuan anak menggunakan representasi mental (kata-kata,
angka, atau gambar). Anak dapat membayangkan bahwa benda atau orang memiliki
properti-properti selain dari sebenarnya mereka miliki. Contoh: Romi
berpura-pura bahwa sepotong pisang adalah sebuah penyedot debu yang “menderu”
di atas meja makan.
b. Pemanahaman
identitas: kemampuan anak menyadari bahwa perubahan artifisial tidak akan
mengubah sifat suatu hal. Contoh: Toni tahu bahwa meskipun gurunya berpakaian
seorang bajak laut, di balik kostum itu gurunya tetap menjadi seorang guru
bukan bajak laut.
c.
Pemahaman
sebab-akibat (transduction): kemampuan anak secara mental untuk mengkaitkan
fenomena partikular, terlepas dari atau ada atau tidaknya sebab-akibat yang
logis. Contoh: ketika melihat ada bola yang menggelinding dari balik dinding,
Rafi mencari orang yang menendang bola tersebut dibalik dinding.
d. Pemahaman
terhadap angka: Kemampuan anak untuk dapat menghitung dan menangani kuantitas.
Contoh: Lisa membagi beberapa permen dengan temannya, menghitung untuk
memastikan bahwa masing-masing temannya mendapatkan jumlah yang sama.
e.
Kemampuan
mengklasifikasikan: kemampuan anak untuk mengorganisasikan benda-benda, orang,
dan kejadian ke dalam kategori yang bermakna. Contoh: Rosa memilah-milah biji
cemara yang ia kumpulkan ketika berjalan-jalan sesuai dengan ukurannya yang
besar atau kecil.
f.
Empati:
Kemampuan anak utuk mulai lebih bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh orang
lain. Contoh: Emi berusaha menghibur temannya ketika ia melihat temnnya itu
sedang sedih.
g. Teori
tentang pikiran: kemampuan anak untu menyadari aktivitas mental dan fungi dari
pikiran. Contoh: Caca ingin menyimpan kue untuk dirinya sendiri sehingga ia
menyembunyikan kuenya dari kakanya di kotak pasta. Ia tahu bahwa kuenya akan
aman karena kakanya tidak akan mencari kue di tempat di mana ia tidak
mengharapkan akan menemukan kue.
3.
Tahap Operasional
Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam
tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti
tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir
secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu,
dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak
sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui
bila membuat kesalahan. (tidak belajar ujiannya jelek)
4.
Tahap Operasional
Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai dewasa)
Selama
tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan.
Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif
pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada
hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah
mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. (korupsi tidak sesuai dengan
norma-norma dmasyarakat, sosiologi)
Menurut Jean Piagiet,
proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a.
Asimilasi yaitu
proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh,
bagi siswa yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya
memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip
penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian
(sebagai informasi baru) itu yang
disebut asimilasi.
b.
Akomodasi yaitu
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa
diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian
tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c.
Equilibrasi
(penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah
ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang
memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Piaget
juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang
anak berbeda pada tahap satu dengan tahap lainnya yang secara umum semakin
tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak
cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap
perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media
pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
- Teori
Belajar Kognitif menurut Bruner
Berdasarkan
Drs. Wasty Soemanto (1997:127) dan Drs. Bambang warsita (2008:71) dimana Jarome
Bruner mengusulkana teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini
bertitik tolak pada teori kognitif, yang menyatakan belajar adalah perubahan
persepsi dan pemahaman. Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan.
Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau
bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic.
a. Tahap
enaktif, yaitu suatu tahap
pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara
aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang
nyata. Contoh : Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan
lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham
bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika
mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
b. Tahap
Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan
itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual
imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau
situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. Contoh : Anak-anak
sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam
benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata
c. Tahap
simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu
simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam
bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf,
kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang
abstrak lainnya. Contoh :
Menurut
Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran
diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini
telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap
belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan
belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar
dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh :
Dalam
mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara
optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda
konkret, misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian
menghitung banyaknya kelereng semuanya. Kemudian kegiatan belajar digunakan
dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng
yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya,
dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini
bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual
(visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa
melakukan penjumlahan kedua bilangan itu
dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu 3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27).
Dalam
proses pembelajaran diperlukannya suatu model agar mempermudah dalam
penyampaian materi kepada siswa dan dalam proses pembelajaran nya lebih
menyenangkan dan membawa siswa berfikir kritis dan aktif. Maka diberikan suatu
Model Pembelajaran Discovery (Penemuan) yang bertujuan untuk membuat siswa
lebih berfikir kritis dan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
Definisi
dari model pembelajaran discovery (penemuan), bila ditinjau dari
katanya,”discover” berarti menemukan dan “discovery” adalah penemuan. Robert B menyatakan bahwa
discovery adalah proses mental dimana anak/individu mengasimilasi konsep dan
prinsip. (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya 2005:76). Dengan demikian
pembelajaran discovery merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam
proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca
sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Pembelajaran
discovery itu merupakan model dari Jerome Bruner seperti menurut Jumianto. Model
dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery
learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil
yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui
berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka
dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Sedangkan
menurut pendapat yang lain belajar penemuan (Discovery learning) dari Jerome
Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada pandangan
kognitif tentang pembelajaran dan konstruktivisme. Siswa belajar melalui
keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan
mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang siswa dikatakan
melakukan discovery maka siswa terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha
menemukan hal baru yang belum diketahui sebelumnya, tetapi gurunya sendiri
sudah tahu apa yang akan diketahui sebelumnya, hal baru disini misalkan ingin
menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, kemudian maksud dari hal baru
tersebut merupakan hal baru untuk siswa yang sedang melakukan penemuan (discovery)
saja. Proses-proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan,
mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Di
dalam discovery learning, tidak semua yang harus dipelajari dipresentasikan
dalam bentuk yang final, beberapa bagian harus dicari, di identifikasikan oleh
pelajar sendiri. Kemudian informasi itu di integrasikan ke dalam struktur
kognitif yang baru. ( struktur kognitif adalah perangkat fakta-fakta,
konsep–konsep, generalisasi-generalisasi yang terorganisasi yang telah
dipelajari dan dikuasai seseorang). (Slameto,2003:24)
Model
pembelajaran penemuan di bedakan menjadi 2, yaitu penemuan terbimbing atau
terpimpin dan penemuan tidak terbimbing. Dalam model penemuan tidak terbimbing,
guru hanya berfungsi sebagai pengawas, tidak membimbing dan tidak menyelesaikan
masalah bagi siswa, siswa benar-benar di tuntut menyelesaikan masalah sendiri,
Penemuan tidak terbimbing ini sulit dilaksanakan pada siswa tingkat dasar,
tingkat menengah, tingkat atas ataupun perguruan tinggi. Pada umumnya siswa
masih memerlukan bimbingan, arahan selangkah demi selangkah untuk memahami
hal-hal baru.
Penemuan
(discovery) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan penyelidikan (inquiry) dan
pemecahan masalah (problem solving), beberapa ahli membedakan antara
penyelidikan (inquiry) dengan penemuan(discovery), sedangkan ahli-ahli lain
menempatkan penyelidikan sebagai bagian dari penemuan, biasa disebut dengan
inquiry-discovery, seperti di ungkapkan oleh Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya
(2005:76) yaitu pada inquiry, proses-prosesnya lebih luas dari pada discovery,
yaitu mengandung proses-proses mental yang tingkatan nya lebih tinggi daripada
discovery. Proses mental yang terdapat pada inquiry ini diantaranya adalah:
merumuskan problema, membuat hipotesis, mendesain eksperimen, melakukan
eksperimen, mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dilihat
dari langkah-langkah dalam pembelajaran
inquiry, discovery learning juga mempunyai langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Simulation.
Guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau menyuruh anak didik
membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2. Problem
Statemen. Anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi masalah.
3. Data
collection. Untuk membuktikan benar atau salah hipotesis ini, anak didik diberi
kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, mengamati objek,
melakukan uji coba sendiri, dan lain-lain.
4. Data
processing. Semua hasil bacaan observasi dan sebagainya kemudian diolah,
diklasifikasikan, bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan
pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verification
atau pembuktian. Berdasarkan hasil pengolahan data tafsiran atau informasi yang
ada, hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah
terbukti atau tidak.
6. Generalization.
Tahap selanjutnya berdasarkan hasil veripikasi tadi, anak didik belajar menarik
kesimpulan atau generalisasi tertentu. (Djamarah dan Zein, 2006:20)
Jika
dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar
dikemukakan sebagai berikut:
1. Belajar
merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2. Belajar
penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat
mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3. Kualitas
belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara
enaktif, ekonik, dan simbolik.
4. Penerapan
belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah
informatif.
5. Kreatifitas
metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab
memungkinkan kemajuan.
kekurangan
dan kelebihan dari pembelajaran penemuan adalah sebagai berikut:
Beberapa
kekurangan dan kelebihan menggunakan model pembelajaran discovery Bruner :
Ø Kelemahan
:
1. Sangat
menyita waktu, lebih-lebih jika dilakukan pada siswa yang berkemampuan rendah.
2. Tidak
dapat di jamin bahwa tetap bersemangat untuk menemukan.
3. Tidak
setiap guru mempunyai kemampuan mengajar menggunakan metode penemuan.
4. Tidak
setiap topik matematika dapat diajarkan dengan metode penemuan.
5. Kurang
efektif jika dilakukan untuk kelas dengan jumlah siswa besar, karena guru akan
kesulitan membimbing., kelas akan ribut sehingga ketertiban kelas sulit di
jaga.
Ø Kelebihan
1. Siswa
aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk
menemukan hasil akhir.
2. Siswa
memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya.
3. Sesuatu
yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
4. Menemukan
sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan
penemuan lagi sehingga minat belajar nya meningkat.
5. Siswa
yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer
pengetahuannya ke berbagai konteks.
6. Metode
ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri. Suherman, dkk (2001: 179)
- Teori
Belajar Kognitif menurut Ausubel
Teori
pembelajaran Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran
yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang
ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa
mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
siswa. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi
baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang melalui pembelajaran.
Pembelajaran
bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan
keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap
olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam
kegiatan pembelajaran.
Cara
Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
1.
Pilih suatu
bacaan dari buku pelajaran
2.
Tentukan
konsep-konsep yang relevan
3.
Urutkan
konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau
contoh-contoh.
4.
Susun
konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di
puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
5.
Hubungkan
konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta
konsep.
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang
studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru
masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka
arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung
bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan,
dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat relajar.
Menurut
Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema
yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi
apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat
dengan konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan
pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah
dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam
konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa
dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel
berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui
proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel
beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di
tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam
kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka
kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel,
lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses
belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan
materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan
yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah
yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah
sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation,
dan consolidation. Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:
1. Belajar
dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa
terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian
pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. (langsung
berhadapan dengan bendanya, konkret, siswa langsung menemukan maksud dalam
pembelajaran).
2. Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian
dia hafalkan.
3. Belajar
menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan
yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
4. Belajar
menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian
pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan
pengetahuan lain yang telah ia miliki.
Langkah-langkah
pembelajaran menurut Ausubel :
1. Menentukan
tujuan pembeajaran
2. Melakukan
identifikasi karakteristik siswa
3. Memilih
materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam
bentuk konsep-konsep.
4. Menentukan
topik-topik dan menampillkannya dalam bentuk advance orgainizer yang akan
dipelajari siswa.
5. Mempelajari
konsep-konsep inti tersebut, dan menarapakannya dalam bentuk nyata atau
konkret.
6. Melakukan
penilaian proses dan hasil belajar siswa
2.4
Aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran
Penerapan
sesungguhnya ada dalam proses belajar, baik proses belajar dalam kelas ataupun
diluar. Terpenting dalam penerapan teori kognitif ini dapat bermakna dan munuju
pemahaman sesuai kemampuan individu dalam rentang waktu yang berbeda. Kegiatan
pembelajarannya mengikuti prinsip-prisip sebagai berikut :
1. Siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak
usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. Benda nyata sebagai objek
belajarnya sehingga memudahkan menuju pemahaman. Misalnya mengenalkan tumbuhan
juga sebagai mahluk hidup, diharapan siswa dapat melihat wujud tumbuhan
didepannya. Tentunya belajar bukan hanya dalam kelas. Siswa bisa belajar diluar
dengan bimbingan guru yang mengajar.
3. Keterlibatan
siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan
pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk
menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pemahaman atau
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
5. Pemahan
dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Pemahaman
dan retensi siswa akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna informasi yang ada harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa, tugas guru adalah menunjukan hubungan
antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7. Adanya
perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut
misalnya motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal, dan
sebagainya.
Hakikat
belajar menurut teori kognitif yaitu aktifitas belajar yang berkaitan dengan
ppenataan informasi, reorganisasi percetual, dan proses internal.
2.5
Implikasi teori belajar kognitif
Implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.
Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik
apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak
agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan peluang agar anak belajar
sesuai tahap perkembangannya.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya
diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar kognitif
1. Kelebihan Teori Belajar Kognitif
a.
Menjadikan
siswa lebih kreatif dan mandiri.
Dengan teori belajar kognitif siswa
dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya merespon dan menerima
rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan berfikir untuk
dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan membuat siswa
lebih mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa mengerjakan
sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya sendiri untuk
mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan.
b.
Membantu
siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori belajar kognitif membantu siswa
memahami bahan ajar lebih mudah karena siswa sebagai peserta didik merupakan
peserta aktif didalam proses pembelajaran yang berpusat pada cara peserta didik
mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta
Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada lebih
mudah dipahami.
2. Kelemahan Teori Belajar kognitif
a.
Teori
tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
b.
Sulit
di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.
c.
Beberapa
prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
bermanfaat sekali, terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami. dasarguru.com
ReplyDeletehttps://www.dasarguru.com/teori-belajar-kognitif/
Salam Hormat,
Bisakah mengetahui daftar pustakanya?
ReplyDeleteKenapa teori kognitif sulit di praktikan di tingkat lanjut?
ReplyDeleteterimah kasih info tentang belajar kognitif...sangat membantu
Delete