BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi
dari pada era sebelum reformasi.
Perlu
diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan Pelanggaran HAM terhadap orang lain
dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM
pada diri kita sendiri.
Bentrokan di Mesuji merupakan salah satu Peristiwa
yang diwarnai dengan berbagai pelanggaran HAM yaitu bentrokan maut antara warga
dengan petugas keamanan PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan yang
terjadi Kamis (21/04/2011). Selain itu benntrokan juga terjadi antara warga
dengan dan PT Silva Inhutani dan PT Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang melatarbelakangi
kasus pembantaian di mesuji.
2.
Bagaimana konflik
pembantaian masal di Mesuji terjadi.
3.
Bagaimana peran pemerintah dalam menangani kasus
pembantaian di Mesuji.
4.
Bagaimana rasionalitas
pandangan terhadap pembantaian masal di Mesuji sebagai pelanggaran HAM.
Tujuan
1. Memahami latar belakang kasus pembantaian di
mesuji
2. Mengetahui konflik
pembantaian masal di Mesuji
3. Mengetahui bagaimana peran pemerintah dalam menangani kasus pembantaian
di Mesuji
4. Mengetahui
bagaimana rasionalitas pandangan terhadap pembantaian masal di Mesuji sebagai
peanggaran HAM.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Faktor yang
melatarbelakangi kasus pembantaian di Mesuji
Kasus
pembantaian di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan yang telah memakan bukanlah
hal kebetulan terjadi. Namun Undang-undang tentang perkebunan nomor 18 Tahun
2004 adalah penyebabnya. Pasalnya undang-undang tersebut keberpihakannya sangat
nyata kepada perusahaan perkebunan dan mengabaikan hak-hak masyarakat. UU
Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 memberikan legalitas yang sangat kuat kepada
perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai
rakyat.
Bentrokan ini kemungkinan besar dipicu oleh konflik
lahan antara warga dengan pihak perusahaan. Sebab di akhir tahun 2010 lalu,
warga Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) melakukan panen di perkebunan sawit
milik PT Sumber Wangi Alam (PT SWA). Bahkan, saat itu, panen yang
dilakukan warga di kebun inti PT SWA seluas 298 hektar, diawasi satu pleton
anggota Brimob. Pihak perusahaan pernah
menangkap warga yang mencuri sawit, tapi warga kemudian menyandera karyawan
perusahaan dan meminta teman-teman yang ditangkap dibebaskan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, bentrokan
dipicu oleh masalah lahan perkebunan. Konflik yang selama ini terpendam
kemudian memuncak saat tersiar kabar bahwa dua orang warga Sungai Sodong, tewas
dianiyaya oleh orang bayaran PT. SWA
yang disewa untuk menduduki lahan yang selama ini menjadi sengketa dengan
warga. Warga yang marah kemudian pada Kamis (21/4/2011) menyerang ke PT. SWA, dengan membawa beragam
senjata.
Saat ini pihak Polda Sumsel belum memberikan
penjelasan resmi mengenai bentrokan yang terjadi, namun ratusan petugas sudah
diturunkan untuk mengamankan wilayah bentrokan tersebut.Kondisi perkebunan
sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji,
Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, hingga kemarin (22/4) masih mencekam. Ratusan
karyawan PT SWA mengungsi ke perusahaan terdekat. Pabrik lumpuh alias tidak operasional
sama sekali.
Konflik mulai terjadi dengan PT. BSMI saat
pembebasan lahan yang disebabkan sekurangnya dua hal. Pertama masyarakat
pemilik tanah langsung tidak dilibatkan dalam permupakatan dalam menentukan
nilai harga tanah, kedua masyarakat tidak dilibatkan dalam pengukuran areal
tanah. Karena merasa dirugikan, awal tahun 1996 masyarakat Desa Sri Tanjung
mengirimkan surat kepada Komans HAM dan saat itu masalah ini ditangani langsung
oleh Sekretaris Komnas HAM yaitu Bpk. Baharuddin Lopa (alm).
Dalam situasi yang masih berkonflik, Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN memberikan HGU kepada PT. BSMI atas lahan seluas 9.513.0454
Ha sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: 43/HGU/BPN/97.
Berbagai usaha telah dilakukan masyarakat namun
tetap nihil hasil.Pada April 2007 sesungguhnya telah dilangsungkan rapat serius
antara warga dengan PT. BSMI yang dipasilitasi oleh Pemkab Tulang Bawang dengan
pokok bahasan segera menyelesaikan masalah tanah.Namun pihak perusahaan tidak
pernah menggubris hasil mediasi tersebut. Sehingga Pemkab Tulang Bawang melalui
surat No. 130/1124/I.01/TB/2007 telah memberi peringatan kepada PT.BSMI agar;
1. Tidak melakukan pengelolaan lahan yang disengketakan warga Desa Sritanjung,
Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, 2.Diminta untuk melaksanakan pengukuran ulang
atas lahan. Hingga tahun 2010, pihak perusahaan tetap tidakmengubris surat dari
Bupati Tulang Bawang.
Setelah wilayah Mesuji menjadi kabupaten sendiri
sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang, atas desakan masyarakat
tiga desa maka pada 1 Nopember 2011 telah dilangsungkan rapat dengan
menghasilkan terbentuknya tim terpadu menyelesaikan batas wilayah hak guna
usaha (HGU) perusahaan yang beranggotakan Pemkab Mesuji, BPN, DPRD,
Kepolisiaan, TNI, PT. BSMI dan perwakilan masyarakat. Namun untuk menentukan
langkah awal kerja tim terpadu terganjal oleh beda pendapat. Pemda menginginkan
agar segera dialakukan pengukuran ulang lahan, sementara BPN Tulangbawang
menyebutkan pengukuran ulang harus melalui izin BPN Pusat sedangkan PT.BSMI
menolak pengukuran ulang.
Insiden 10 November 2011
Sejak September 2011 masyarakat yang merasa
tanahnya tidak pernah mendapat ganti rugi melakukan panen kolektif secara
bergilir diatas lahan plasma.Dan sebelum melakukan panen masyarakat telah berkoordinasi
dengan Polres Tulang Bawang.
Seperti biasanya setiap satu minggu sekali
masyarakat melakukan panen dan tepatnya dilakukan jam 10.00 WIB pada 10/11.
Petani yang memiliki kendaraan diparkir dipinggir jalan. Sekitar jam 13.00
Brimob mengambil paksa salah satu motor milik petani yang sedang diparkir
dengan diseret menggunakan truk ke markas Brimob di lokasi pabrik.
Mendapat khabar tesebut sekitar jam 14.45 puluhan
orang setelah selesai panen, bersama-sama menuju pos jaga Brimob untuk
menanyakan dan meminta dikembalikan motor yang disita. Namun belum tiba
dilokasi dan belum juga terucap kata, Brimob telah menembak para petani yang
sedang mengendarai motor menuju lokasi. Penembakan tersebut tanpa peringatan
tembakan keudara namun langsung membabi buta dan berdurasi sekitar 15 menit
sebagaimana diutarakan oleh korban.Saat itu terdapat 130 brimob dan terdapat
juga TNI Marinir, namun menurut korban lagi, Marinir tidak melakukan tindakan
apapun.
Penembakan tersebut terjadi sekitar pukul 15.00.Dan
dalam insiden tersebut telah jatuh korban; 1.Zaelani (45) warga Desa Kagungan Dalam meninggal ditempat karena luka
tembak dikepala yang menembus diatas telinga, 2.Rano Karno (28) luka perut dan
lengan, 3. Muslim (18) luka berat di kaki dan harus diamputasi karena tulang
pecah, , 4. Reli (32) luka tembak di bahu kanan, 5.Hirun (18) luka tembak kaki
kiri, 6.Lukman (25) luka tembak kaki kiri, dan 7 Matahan (38) luka dikaki kiri
dan 8. Jefi (26) luka bakar
Mendapat kabar dari anak almarhum bahwa ayahnya
meninggal karena ditembak Brimob sekitar 500 orang dari 10 desa datang ke pos
Brimob untuk melakukan perlawanan, namun karena tidak ada lagi orang, maka
pelampiasan kemarahan dilakukan dalam bentuk pembakaran mes perkantoran dan
sarana lainnya milik PT.BSMI.
B. Akibat yang Terjadi
Akibat yang ditimbulkan dari bentrokan ini yaitu
ada tujuh orang tewas. Korban yang meninggal tersebut terdiri tiga orang warga
dan empat orang satpam perusahaan. Korban yang tewas itu antara lain adalah
Syafei (18) leher putus dan terkena luka tembak serta Matchan bin Sulaiman (21)
kena tujah dengan telinga kiri nyaris putus. Sedangkan satu warga lainnya belum
diketahui identitasnya. Selain itu pihak satpam perusahaan pun hingga kini
belum diketahui identitas korban yang tewas. Kondisi korban dari pihak
perusahaan sangat menggenaskan.Asisten kebun Hambali, misalnya.Kondisi
kepalanya nyaris putus.Ia menderita luka bacok di punggung membelah hingga ke
pinggang. Kemudian luka tusuk di bagian pinggang kiri dan bagian perut.
Korban Hambali adalah adik bungsu dari H Fansyuri, sekretaris Dinas Peternakan
Kabupaten OKI.
Pembantaian terhadap karyawan PT SWA, asisten kebun Haris Fadillah
(23) tak kalah sadis. Kepalanya putus, telapak tangan kanannya dipotong tetapi
tidak sampai putus dan dia digantung pada tiang listrik.Kemudian semua
identitasnya diambil. Namun petugas kepolisian (Brimob) menemukan sebuah dompet
yang diperkirakan milik korban
berisi KTP, SIM serta kartu-kartu lain atas nama Haris Fadillah (23) beralamat
di Desa Mulya Guna, Kecamatan Teluk Gelam.
Adapun upaya pengamanan yang dilakukan oleh pihak
kepolisisan yaitu dengan menerjunkan dua peleton Brimob Polda Sumsel ke
lokasi sehingga berhasil menguasai kebun PT SWA yang diduduki warga, pascabentrok, pukul 12.00 WIB, Kamis
(21/4). Mereka di-back up Polres OKI, Polsek Mesuji, dan polsek terdekat. Sebaliknya, warga enam desa Sungai
Sodong, Sungai Tepuk, Pagar Dewo, Curang Kuali, Tebing Suluh, dan Pematang
Panggang yang terlibat penyerbuan, berjaga-jaga di desanya masing-masing.
Selain juga melayat dan ikut memakamkan jenazah warga desanya yang tewas.
Mediator korban kasus Mesuji, Mayjen (Purn) Saurip
Kadi, kembali menegaskan bahwa korban bentrokan antara warga Mesuji dan
perusahaan pemilik perkebunan sawit tersebut memang diperkirakan 30 orang.
“Terserah institusi lain mengatakan hanya sembilan saja. Yang benar 30 orang
korbannya,” ujar Saurip saat menghadiri diskusi “Kasus Mesuji, Fakta atau
Rekayasa” di Kedai Kopi Bhineka, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (23/12/2011).
Selain itu, untuk membuktikan data tersebut, kata
Saurip, dalam beberapa waktu ke depan pihaknya akan melakukan testimoni di
hadapan media bersama orangtua dan keluarga korban Mesuji. “Nanti kami akan
lakukan testimoni.Saya bawa semua orangtua korbannya dan keluarga mereka
itu.Biar mereka yang akan menceritakan sendiri bagaimana anaknya dibunuh,” ujar
Saurip.
Seperti yang diketahui, jawaban Saurip ini
dilontarkan untuk membantah keterangan dari pihak Polri yang menyebut
korban tewas dari peristiwa Mesuji di Sumatera Selatan dan Lampung hanya
sembilan orang. Sembilan orang itu terdiri atas 2 korban tewas dari pihak warga
saat terjadi bentrokan dengan Pam Swakarsa PT SWA, kemudian 5 karyawan PT SWA,
di mana dua di antaranya anggota Pam Swakarsa yang dipenggal warga. Peristiwa
itu terjadi di Kecamatan Sungai Sodong, Ogan Komering Ilir, Sumsel, 21 April
2011.
Sementara itu, satu korban lagi atas nama Made Asta
adalah korban tembak saat bentrok dengan aparat serta petugas keamanan dari PT
Silva Inhutani. Korban terakhir atas nama Zaelani, yang menjadi korban dalam
bentrokan yang terjadi antara warga dan petugas dari PT BSMI. Kedua peristiwa
ini terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung.Polri menyebut belum ditemukan data
yang jelas terkait 30 orang seperti yang disebut warga Lampung.Akan tetapi
sebelumnya Polri mengatakan sudah menindak dua anggotanya yang diduga terlibat
dalam kasus mesuji lampung antara warga dengan PT Silva Inhutani.
Dalam kasus
Mesuji Lampung antara PT BSMI
dengan warga ini, ada 5 orang terkena luka tembak dan 1 di antaranya meninggal.
Identitas mereka yang tertembak adalah:
1. Muslim, 17 tahun, tertembak di kaki kanan.
2. Robin, 17 tahun, tertembak di kaki kiri.
3. Rano Karno, 26 tahun, luka di tangan dan perut sebelah kiri.
4. Harun, 17, tertembak di tumit kiri.
5. Zaelani, meninggal dunia.
1. Muslim, 17 tahun, tertembak di kaki kanan.
2. Robin, 17 tahun, tertembak di kaki kiri.
3. Rano Karno, 26 tahun, luka di tangan dan perut sebelah kiri.
4. Harun, 17, tertembak di tumit kiri.
5. Zaelani, meninggal dunia.
C. Peran pemerintah
dalam menangani kasus pembantaian di Mesuji
Untuk
mengatasi masalah tersebut dan agar tidak memakan korban lebih banyak ada
beberapa solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu mencabut
Undang-Undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 karena Undang-Undang ini
menjadi sumber konflik agraria. Dan Negara harus segera menjalankan amanat UU
Pembaruan Agraria No. 5 tahun 1960 secara sungguh-sungguh," tegasnya.
Ketua Komisi Nasional
Ham Asasi Manusia, Ifdal Kasim, menyatakan bahwa pembunuhan keji terhadap warga
Mesuji, Lampung, adalah kasus lama yang terjadi pada awal 2011. Komnas HAM
bahkan sudah sejak lama melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib. “Kasus
itu sudah pernah kami selidiki, bahkan kami sampaikan dan laporkan ke polisi.
Tapi belum ada tindakan sampai sekarang, seperti dibiarkan,” kata Ifdal ketika
dihubungi VIVAnews. Ia pun menyesalkan polisi yang tidak cepat
mengusut konflik Mesuji yang berakhir dengan pembunuhan bahkan pembantaian
tersebut.
Berbagai langkah telah
dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI, termasuk memanggil para korban dan saksi
kasus Mesuji untuk mengadakan dengar pendapat di DPR RI. Sementara itu,
Presiden RI telah menginstruksikan jajaran terkait untuk menindak tegas pihak-pihak
yang memperkeruh suasana hingga menimbulkan tragedi berdarah di Mesuji.
Demikian juga gubernur dan bupati bersangkutan telah pula dimintai keterangan
mengingat sumber masalah berada di tingkat provinsi dan kabupaten.
Menyikapi kasus Mesuji,
beberapa lembaga independen seperti Kontras dan FPI telah terjun ke lapangan
menjadi penengah diantara pihak – pihak yang bersengketa. Dalam hal ini Kontras
telah melakukan investigasi dan verifikasi laporan yang disampaikan korban,
terutama pada laporan terjadinya pemenggalan kepala.
Dalam hal ini Kontras
juga melakukan kordinasi dengan Komnas HAM agar laporan dari Komnas HAM
terhindar dari ketidakindependensian (contradicty intermeanis). Mengenai
pamswakarsa, Kontras berkata bahwa para petugas pamswakarsa yang bertugas dilapangan
tidak ada hubungannya dengan penduduk setempat, mereka kebanyakan berasal dari
luar, jadi tidak ada rasa toleran untuk menindak warga yang menentang.
Sedangkan dari Front
Pembela Islam (FPI) sengaja melibatkan diri untuk menyatukan warga dengan harapan
agar perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat setempat bisa diatasi.
Belakangan ini FPI sudah turun ke lapangan dan bendera FPI sudah ditancapkan di
sana. Tidak hanya FPI saja tapi juga belasan eleman lainnya.
Belajar Dari Kasus
Mesuji Di zaman otonomi daerah sekarang ini persoalan tanah memungkinkan lebih
cepat muncul. Sebab setiap daerah dituntut untuk kreatif dalam rangka memacu
pembangunan daerahnya. Berbagai macam cara dilakukan, mulai membuat peraturan
daerah (perda), promosi ke berbagai daerah dan mancanegara sampai mengundang
investor (pemodal).
Bagi pihak investor,
kalkulasi ekonomis lebih dikedepankan, sedangkan bagi pemerintah daerah,
kalkulasi penambahan penghasilan pendapatan daerah berupa pajak dari para
investor adalah sebuah harapan kedepannya. Walaupun usaha mendatangkan investor
berhasil, namun setelah investor menanamkan modalnya seringkali memunculkan
banyak masalah, salah satunya adalah masalah tanah tersebut.
Di Nunukan mengingat
posisi penting tanah ini memungkinkan untuk terjadinya kasus serupa jika tidak
diantisipasi sedini mungkin. Bagi masyarakat Nunukan, tanah tidak hanya
berfungsi sebagai tempat tinggal, sumber produksi atau pendapatan tetapi juga
mempunyai fungsi sosial dimana tanah tersebut mencerminkan kedudukan sosial dan
status seseorang di tengah masyarakat. Eksistensi tanah di Nunukan dapat
dilihat dari dua sudut pandang. Bagi para pendatang, tanah memiliki nilai
ekonomis sebab dijadikan lahan bercocok tanam dan beternak. Beberapa lahan
masyarakat tani di Nunukan telah ditanami sawit dan telah berproduksi sejak 10
tahun terakhir; sedangkan bagi warga tempatan, tanah bukan saja bernilai
ekonomis, namun juga memiliki hubungan menyejarah dan menjadi rantai penghubung
antara generasi masa lalu dengan generasi hari ini dan akan datang.
Begitu pentingnya keberadaan tanah di daerah ini, kekuatiran akan terjadinya kasus serupa seperti di Mesuji perlu diantisipasi kedepannya. Dari kasus Mesuji tersebut masalah tanah merupakan hal penting untuk diselesaikan. Beberapa langkah kongrit agar kasus di Mesuji tidak terjadi di daerah ini diantaranya: Pertama, perlu adanya peraturan yang memihak kepada masyarakat yang masuk dalam pemetaan areal perkebunan, yang memberi manfaat dan keuntungan. Agar masyarakat tidak merasa dirugikan dengan berbagai macam kebijakan yang dibuat. Sehingga masyarakat yang ada disekitar areal perkebunan merasa memiliki.
Kedua, perlunya keterbukaan dan peran serta (partisipatif) masyarakat dalam mencari solusi masalah pertanahan khususnya ijin lokasi perkebunan. Prosedur administratif perizi¬nan misalnya, merupakan instrumen yang paling baik dalam rangka pencegahan masalah tanah.
Karena melalui hal tersebut maka ada semacam alat kontrol dalam bertindak terutama bagi pengusaha dalam pengelolahan perkebunan. Demikian juga keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menimbulkan dampak penting terhadap sumberdaya perke¬bunan tersebut perlu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian saluran sarana hukum peran serta masyarakat dilaksanakan dalam bentuk hak untuk mengambil bagian dalam prosedur administratif misalnya public hearing dan sebagainya. Dalam hal ini peranan masyarakat merupakan prosedur hukum administratif yang memberi andil kepada efisiensi dalam proses pengambilan dan kualitas keputusan.
Ketiga, adanya bagi hasil yang jelas dan adil antara masyarakat tani setempat dengan pihak perusahaan perkebunan. Misalnya dengan sistem plasma yang harus menguntungkan kedua belah pihak. Masyarakat diareal perusahaan perkebunan merasa menikmati hasil perkebunan, begitu juga dengan pihak perusahaan perkebunan. Terbingkainya sistem pembagian yang jelas dan adil memungkinkan terhindarnya masalah tanah kedepannya.
Keempat, perlunya
aturan pelepasan kawasan masyarakat yang jelas, yang dimediasi oleh pemerintah;
perlu diingat bahwa dalam kawasan yang dipetakan oleh perusahaan perkebunan,
bisa saja terdapat hak ulayat, hak milik, hak garap, dan berbagai
potensi/sumber daya dan fasilitas diatas lahan – lahan tersebut. Terlebih jika
diatas lahan yang dipetakan terdapat fasilitas social seperti sekolah dan
sarana ibadah yang rawan menimbulkan konflik berbau sara.
Kelima, mengutamakan
azas musyawarah dan mufakat dalam mencari solusi masalah tanah khususnya
persoalan perkebunan. Hindari aksi vandalism sebab pengunaan aksi kekerasan
bukan hanya memperkeruh suasana namun juga membuat kerugian yang besar baik
bagi masyarakat di areal perkebunan dan perusahaan perkebunan itu sendiri.
Akhirnya kasus Mesuji
merupakan salah satu contoh kasus yang harus kita pahami dan resapi sebagai
langkah awal untuk membangun negeri ini terbebas dari masalah tanah, khususnya
antara masyarakat diareal perkebunan dengan pihak perusahaan perkebunan.
Mengingat di Nunukan banyak sekali permasalahan tanah ini muncul ketika
para investor menanamkan modalnya di ranah Pagun Taka ini. Untuk itu
perlu kiranya semua elemen masyarakat yang ada, mulai bergendengan tangan
memecahkan persoalan tanah sehinga tidak ada pihak yang terugikan lagi,
masyarakat hidup dengan tentram, demikian juga para investor senang
menginvestasikan modalnya. Harapan kita bersama kasus seperti di Mesuji tidak
terjadi di Kabupaten Nunukan.
0 komentar:
Post a Comment