Friday, July 29, 2016

Filled Under:

OTONOMI DAERAH

A.      KONSEP OTONOMI DAERAH
a.    Gambaran Umum Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.        Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.        , dari isi dan jiwa Nilai dasar Desentralisasi Teritorial pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:
1.        Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.        Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.        Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.



Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.      Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.      Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3.      Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
b.      Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3.    Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5.    Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.    Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.    Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
c.       Tujuan Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1.     Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2.     Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.     Keadilan nasional.
4.     Pemerataan wilayah daerah.
5.     Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.     Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
7.     Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.    
d.      Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.    Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.    Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.    Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
e.       Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1.        melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2.        pembentukan negara federal; atau
3.        membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.        Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2.        Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.        Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.        Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.        Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.        Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.        Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8.        Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.        Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10.    Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11.    Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.    Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.    Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.    Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15.    Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.


B.     KONSEP DESENTRALISASI
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.
Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.

C.    PERIMBANGAN PUSAT DAN DAERAH
           Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah tengah krisi yang melanda Asia dan bertepatan dengan proes pergntian rezim. Dari rezim otorutarian yang lebih demokratis setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, dan sebagai reaksi yang kuat dari keenderungan sentralisasi kekuasaan dan sumber sumber daya di pemerintah pusat selama tiga decade terakhir. Masalahnya, pemerintah demokratis yang datang setelah pergantian rezim tidak memiliki kekuatan “persatuan nasional” seperti yang dimiliki rezim sebelumnya, juga tidakmmemiliki daya setrifugal politis. Banya provinsi yang kaya dengan sumber daya alam menyatakan ketidakpuasan akan hasil eksploitasi sumber daya alamnya yang sebagian besar digunakan oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan pusat telah mengakibatkan kesenjangan regional antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2002). Rasa sentiment yang muncul adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan propinsi yang kaya akan sumber daya alam pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.
           Berpijak pada tiga asas desentralisasi (dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan), pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah didasarkan atas 3 asas : (1) Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas beban APBN, (2) Urusan yang merupakan tugas oemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi biaya dan atas beban APBD, (3) Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN oleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan.
Analisis Dana Perimbagan Pusat dan Daerah
a.    Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pengertian dan sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
            Sejak diberlakukannya otonomi daerah, daerah didorong agar  dapat berkreasi dan berinovasi  dalam mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Salah satu alternative sumber penerimaan tersebut adalah pajak dan retribusi daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang pemerintahan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari daerah itu sendiri (Abidin, 2002).
            Menurut Mardiasmo (2002:132), “pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”.
Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan PAD adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. 
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam Saragih (2003:61), yang dimaksud dengan pajak daerah adalah “iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”. Menurut Halim (2004:67), “pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak”. Dalam Pudyatmoko (2002:14) dijelaskan Jenis-jenis pajak daerah untuk Propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tersebut disebutkan dalam Pasal 2 :
a.      Jenis Pajak Propinsi yang terdiri dari:
1)      Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
2)      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
3)      Pajak Bahan Kendaraan Bermotor
4)      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan
b.      Jenis Pajak Kabupaten/ Kota yang terdiri dari:
1)      Pajak hotel
2)      Pajak restoran
3)      Pajak hiburan,
4)      Pajak reklame,
5)      Pajak penerangan jalan,
6)      Pajak pengambilan bahan galian golongan C,
7)      Pajak parker
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Menurut UU No. 33 tahun 2004, “Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD”. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Unsur-unsur APBD adalah sebagai berikut:
1.      rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2.      adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
3.      jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4.      periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
Sebagai alat pemerintah yang digunakan dalam menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan, anggaran dalam organisasi publik memiliki beberapa fungsi. Pengendalian, kebijakan fiskal, politik, koordinasi, evaluasi kinerja, memotivasi manajemen,dan menciptakan ruang publik.
Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk:
1.      Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan,
2.      Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya,
3.      Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun,
4.      Menetukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk:
1.      Mengendalikan efisiensi pengeluaran,
2.      Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda,
3.      Mencegah adanya overspending, underspending dan salah satu sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas,
4.      Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasioanl program atau kegiatan pemerintah.
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan, dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.   
Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk memetuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat politik (pilitical tool). Oleh karena itu, penyusunan anggaran membutuhkan political Skill, qualition building,keahlian bernegoisasi, dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan publik. Kegagalan dalam melaksanakan anggaran yang telah disetujui dapat menurunkan kredibilitas atau bahkan menjatuhkan kepemimpinan eksekutif.
Angggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja daalm organisasi poemda yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Disamping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja.
Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Kinerja Pemda akaln dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat direalisasikan.
Anggaran sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target kinerja. Agar dapat memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable.Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasioanal yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang publik (public sphere), dalam arti bahwa proses penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya digunakan sebagai dasar perumusan arah dan kebijakan umum anggaran. Kelompok masyarakat yang terorganisir umumnya akan mencoba mempengaruhi anggaran untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisir akan mempercayakan aspirasinga melalui proses politik yang ada. Jika tidak ada alat untuk menyampaikan aspirasi mereka, maka mereka akan melakukan tindakan-tindakan lain: misal, tindakan massa, melakukan boikot, vandalisme, dan sebagainya.
Peraturan pemerintah (2000) menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah sebagai dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. APBD pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah.anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah,menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.Anggaran daerah seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan belanja,alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan serta alat otoritas pengeluaran dimasa yang akan datang dan ukuran standar untuk evaluasi Surat Keputusan Mendagri mengatakan bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran diantaranya :
1.      Transparansi dan akuntabilitas anggaran.Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,bersih dan bertanggung jawab. Selain itu setiap dana yang diperoleh,penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
2.      Disiplin anggaran.APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus menigggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah,pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu,anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi,tepat guna,tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
3.      Keadilan anggaran.Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
4.      Efisiensi dan efektifitas anggaran.Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.Oleh karena itu,untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran,maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan,sasaran,hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
5.      Format anggaran.Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau defisit (surplus defisit budget).Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.Apabila terjadi surplus,daerah dapat membentuk dana cadangan,sedangkan bila terjaadi defisit dapat ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1.      Fungsi Otorisasi : Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2.      Fungsi Perencanaan : Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3.      Fungsi Pengawasan : Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4.      Fungsi Alokasi :Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5.      Fungsi Distribusi : Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6.      Fungsi Stabilisasi : Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
d.      Prinsip-prinsip anggaran daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1.       Kesatuan, Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2.       Universalitas, Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3.      Tahunan, Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
4.      Spesialitas, Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terincisecara jelas peruntukannya.
5.      Akrual, Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas
6.      Kas, Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
e.       Struktur APBD
Dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah, maka akan membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD. Sebelum UU Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini adalah anggaran yang berimbang dimana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah.
Adapun struktur APBD berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006, “Struktur APBD merupakan satu kesatuan terdiri dari: a). Pendapatan Daerah, b). Belanja Daerah, dan c). Pembiayaan Daerah”.
1.      Pendapatan Daerah
Pendapatan yang dianggarkan dalam APBD meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum Daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak Daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan Daerah dikelompokkan sebagai berikut:
2.       Pendapatan Asli Daerah
Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a.       Pajak Daerah,
b.      Retribusi Daerah,
c.       Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan
d.      Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
3.        Belanja Daerah
Belanja Daerah merupakn semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkuutan. Berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, Belanja terdiri dari:
a.     Belanja Aparatur Daerah,
b.    Belanja Pelayanan Publik,
c.     Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan,
d.    Belanja Tidak Tersangka.
4.      Pembiayaan Daerah
Pembiayaan disediakan untuk menganggarkan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada Tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya, yang terdiri atas:
a.    Penerimaan Pembiayaan
b.    Sisa lebih perhitungan anggaran Tahun lalu (SILPA)
Sisa lebih perhitungan anggaran Tahun lalu merupakan selisih lebih antara realisasi pendapatan dengan belanja Daerah yang dalam APBD Induk dianggarkan berdasarkan estimasi. Sedangkan realisasi SILPA dianggarkan dalam perubahan APBD sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan Daerah tentang penetapan perhitungan APBD tahun sebelumnya
c.    Pencairan dana cadangan
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibevbankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan ditetapkan dengan peraturan daerah dan ditempatkan direkening sendiri. Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum Daerah dalam Tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan Daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
d.      Penerimaan Pinjaman dan Obligasi
Penerimaan Pinjaman dan Obligasi digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang dari semua pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Penerimaan Pinjaman dan Obligasi yang dianggarkan disesuaikan dengan rencana penarikan pinjaman dalam tahun anggaran sesuai dengan perjanjian pinjaman.
e.         Hasil Penjualan Aktiva Daerah yang Dipisahkan
Penerimaan hasil penjualan Aktiva Daerah yang dipisahkan digunakan untuk menganggarkan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan dapat berupa penjualan perusahaan milik Daerah/BUMD, penjualan aktiva milik Pemerintah Daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal Pemerintah Daerah.
f.       Penerimaan Kembali Pemberain Pinjaman
Penerimaan Kembali Pemberain Pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah Daerah lainnya.
g.      Pengeluaran Pembiayaan, mencakup:
1.    Pembentukan Dana Cadangan
2.    Investasi (Penanaman Modal) Pemerintah Daerah.
Investasi Pemerintah Daerah digunakan untuk menganggarkan kekayaan Pemerintah yang diinvestasikan babik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
3.    Investasi jangka pendek, mencakup deposito berjangka waktu 3 (tiga) bulan sampai denga 12 (dua belas) bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian surat utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
4.    Investasi Jangka Panjang terdiri dari investasi permanen dan non permanen antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah dalam rangka mengendalikan suatu Badan Usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu Badan Usaha.
h.      Sisa lebih pembiayaan tahun anggran berjalan digunakan untuk menganggarkan sisa lebih antara pembiayaan netto dengan surplus/defisit APBD. Pembiayaan Netto merupakan selisih antara penerimaan pendanaan dengan pengeluaran pendanaan yang harus dapat menutup defisit anggaran yang direncanakan.
i.          Jumlah yang dianggarkan pada sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan pada APBD induk merupakan angka estimasi berhubung jumlah selisih lebih perhitungan anggaran pada tahun lalu yang juga masih angka estimasi.
j.          Dalam perubahan APBD Tahuin berjalan, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan tersebut dianggarkan sepenuhnya untuk mendanai program dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Daerah sehingga jumlahnya menjadi sama dengan nol.

D.    DAYA SAING DAN INDIKATOR DAYA SAING DAERAH
a.      Pengertian daya saing
Pada dasarnya sebuah wilayah yang memiliki suatu produk akan berhasil bila suatu produk yang dibuatnya/ diciptakan memiliki sesuatu yang lebih dari yang lain sehingga harga yang akan dibuatnya akan semakin tinggi. Maka dari itu hari-hari ini banyak produk yang dipasarkan sehingga muncul sebuah daya saing yang ketat dan yang memenuhi syarat pengujian.
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal.
Daya saing juga dapat juga diartikan sebagai kapasitas bangsa untuk menghadapi tantangan persaingan pasar internasional dan tetap menjaga atau meningkatkan pendapatan riil-nya.
Ada beberapa pengertian daya saing yang mencakup wilayah, sebagai berikut :
1.      Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya .
2.      Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing (eksternal) dan menentukan peran produktifnya .
3.      Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional .
b.      Hal hal yang berpengaruh terhadap daya saing
1.      Iklim yang kondusif
Pada hal ini peningkatan daya saing bergantung kepada iklim. Contoh saja suatu produk teh, jika saja iklim tidak mendukung maka daya saing di pasar akan menurun karena tanaman teh belom dapat diproduksi. Ini dikarenakan iklim yang tidak mendukung bisa kemarau yang berkepanjangan atau ada sebab lain.
2.        Keunggulan komparatif
Teori keunggulan komparatif merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Adapun keunggulan kompetitif lebih mengarah pada bagaimana suatu daerah itu menggunakan keunggulan-keunggalannya itu untuk bersaing atau berkompetisi dengan daerah lain.
3.      Keunggulan kompetitif
Seperti contoh diatas, keunggulan kompetitif Indonesia akan lebih besar dibanding Malaysia untuk bersaing di pasar internasional. Sebaliknya dalam perdagangan Timah, Malaysia memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibanding Indonesia.
c.       Beberapa indikator meningkatnya daya saing
1.       Pertama yakni makroekonomi, di mana indikator daya saing dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca antara ekspor dan impor.
2.      Kedua, kualitas infrastruktur. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan sektor infrastruktur, sektor ini diketahui telah mengalami peningkatan dari semula dari peringkat 96 menjadi peringkat 90.
3.      Ketiga, kesehatan dan pendidikan dasar yang meningkat dari peringkat 82 menjadi peringkat 62. Menurut laporan Program (Millenium Development Goals/MDG's), pada 2010 bidang kesehatan masih perlu ditingkatkan terutama dalam masalah gizi buruk, kematian ibu sewaktu melahirkan, dan penyakit HIV AIDS.
Sedangkan untuk bidang pendidikan menunjukkan kenaikan. Partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan SD tercatat sebesar 94,7 persen, SMP sebesar 66,5 persen, serta melek huruf sebesar 99,4 persen.
Dengan adanya peningkatan peringkat daya saing Indonesia, ini menunjukkan peningkatan kepercayaan dunia usaha terhadap upaya Pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur dan iklim usaha di Indonesia. Selain itu kenaikan peringkat ini diharapkan akan mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
d.      Indicator utama pembentuk daya saing :
1.      Lingkungan usaha produktif
2.      Perekonomian daerah
3.      Ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia
4.      Infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan
5.      Perbankan dan lembaga keuangan

E.     GOOD GOVENANCE 
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. 
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. 
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
a.      Konsep Good Governance 
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
Konsep Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian masih banyak yang rancu memahami konsep Governance. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (msyarakat madani). Karenanya memahami governanceadalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dancivil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut. 
Dalam konsep ini, Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada public
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini: 
1.      Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 
2.      Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.      Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. 
4.      Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. 
5.      Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.      Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.      Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 
8.      Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. 
9.      Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi : 
ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai; 
1.    Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat
2.    Tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikanz
3.    Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.    Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.    Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.    Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7.    Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur

F.     KORUPSI
a.      Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk alas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya atau kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat. Sehingga, dalam arti yang luas dapat diperoleh kesimpulan bahwa korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
b.      Penyebab Terjadinya Korupsi Di Indonesia
Faktor penyebab terjadinya korupsi secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
Factor Internal yaitu faktor yang ada dalam diri seorang pemegang amanah yang mendororng melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan prinadi atau kelompok tertentu. Faktor ini sangat beragam, misalnya: sifat rakus terhadap harta/kekayaan, sifat iri kepada orang lain, atau terbentur kebutuhan mendesak yang memicu seorang melakukan korupsi.


2.      Faktor Eksternal
         Faktor Eksternal yaitu sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang sehingga dapat memeberikan kesempatan kepada pemegang amanah untuk melakukan korupsi. Faktor ini juga senantiasa berkembang, misalnya lemahnya pengawasan, lemahnya hukum, penegak hukum yang mudah disuap, sanksi hukum yang lebih ringan dibanding dengan hasil korupsi, tidak ada teladan kujujuran dari para pemimpin dan lain-lain.
         Secara umum terjadinya korupsi disebabkan oleh setidaknya tiga hal:
a.       Corruption by great (keserakahan)
               Korupsi ini banyak terjadi pada orang yang sebenarnya tidak butuh, tidak terdesak secara ekonomi, bahkan mungkin sudah kaya. Jabatan tinggi, gaji besar, runah mewah, popularitas menanjak, tetapi kerakusan yang tak terbendung menyebabkannya terlibat praktik korupsi. Hal ini sudah pernah diperingatkan oleh Nabi saw bahwa kalau saja seorang anak Adam telah memilii dua lembah emas, iapun berkeinginan untuk mendapatkan tiga lembah emas lagi.
b.      Corruption by need (kebutuhan).
               Korupsi yang dilakukan karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need). Misalnya, korupsi yang dilakukan seseorang yang gajinya sangat rendah jauh dibawah standar upah minimum dan terdesak untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu sperti membayar SPP anakanya yang masih bersekolah. Korupsi ini banyak dilakukan oleh pegawai/karyawan kecil, polisi/prajurit rendahan, buruh kasar tukang parker, sopir, angkutan umum dan lain-lain.
c.       corruption by chance (peluang)
               Korupsi ini dilakukan karena adanya peluang yang besar unuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan secara instan dan sebagainya. Biasanya hal ini didukung oleh lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntabilitas pubilk longgarnya pengawasan masyarakat, dan keroposnya penegakan hukum, yang diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera.
3.      Faktor Umum yang mendorong terjadinya korupsi
a.       Rendahnya pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari
Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pendidikan agama yang terlalu menekankan aspek kognitif dan melupakan aspek afektif dan psikomotorik, atau bertambahnya ilmu pengetahuan agama tanpa dibarengi dengan peningkatan pengamalan.
b.      Struktur pemerintahan atau kepemimpinan organisasi yang bersifat tertutup (tidak transparan) dan cenderung otoriter.
Dalam kondisi demikian, kecenderungan terjadi penyelewengan kekuasaan sangat tinggi.
c.       Kurang berfungsinya lembaga perwakilan rakyat
(DPR, DPD dan DPRD) sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif (presiden, gubernur, bupati, walikota dan lain-lain). Biasanya diawali dengan cara yang tidak sah dalam memperoleh kekuasaan (jabatan politik) dengan money politics, manipulasi surat suara atau politik dagang sapi. Jika rekrutmen politiknya bermasalah, maka pada gilirannya kekuasaan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau kelompok mengabaikan tanggung jawab sosial, serta mengahalalkan segala cara.
d.      tidak berfungsinya lembaga pengawasan dan penegak hukum, serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi
Sebuah kepemimpinan atau pemerintahan yang tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat cenderung bertindak korup (power tends to corrup) apalagi ditamabah jika penegak hukumnya tidak jujur dan tidak adil
e.       mimimnya keteledanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan sehari-hari.
f.       Keteladan yang baik dari para pemimpin menjadi sangat penting, sebab masyarakat luas lebih cenderung meniru pemimpinnya. Lihat saja pada zaman sekarang ini sulit sekali mencari pemimpin sederhana, hemat, qona’ah (menerima dan menikmati rahmat yang sudah ada), wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang remang-remang atau syubhat), dermawan, dan tidak bermental rakus. Tapi malah sebaliknya, banya pemimpin yang justru hidup bermewah-mewahan, boros, pelit sombong, dan rakus.
g.      Keenam, rendahnya upah pegawai/karyawan yang berakibat rendahnya tingat kesejahteraan. Tingkat upah atau gaji juga ikut berpengarung pada meluasnya tindak kesejahteraan
c.       Undang-undang yang mengatur korupsi di Indonesia
1.      UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Korupsi
2.      UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
3.      UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.      PP No.71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5.      UU No. 15/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.      UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.      UU No. 7/2006 tentang United Nation Convention Againest Corruption
8.      Instruksi Presiden RI No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
d.      Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian dan Keutuhan NKRI
         Korupsi pasti akan menimbulkan dampak yang buruk bagi suatu kelompok maupun Negara. Dampak dari korupsi adalah:
1.      Merugikan Negara maupun kelompok
2.      Menghabiskan atau memakan uang atau harta Negara atau kelompok untuk kepentingan pribadi
3.      Menjadikan Negara miskin
4.      Menjadikan Negara memiliki hutang yang banyak di luar negeri
5.      Menimbulkan ketidakadilan dalam hal pendapatan dan kekayaan
6.      Menimbulkan naiknya jumlah pengangguran
7.      Menimbulkan kesengsaraan rakyat
8.      Menimbulkan gejolak dan pertentangan antar pihak
9.      Menimbulkan pergolakan perekonomian
10.  Memecah belah pejabat pemerintahan
11.  Menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pejabat
12.  Menimbulkan permusuhan
13.  Menimbulkan kekacauan di berbagai bidang
e.       Upaya dan strategi pemberantasan korupsi
Dalam upaya pemberantasan korupsi  harus ada sikap tegas dari penegak hukum, pengawasan yang ketat, dan  juga adanya peran dari segenap masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam melawan korupsi. Ada bebrapa langkah strategis (umum) yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut adalah sebagai berikut :

a.       Preventiv
1.      Melalui perbaikan system, antara lain :
a)      Memperbiki peraturan perundang undangan yang ada serta terus menerus memerhatikan perkembangan korupsi
b)      Memperbaiki cara kerja pemerintah (birokrasi) menjadi lebih simple dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance sert penegakan etika dan sanksi pada lembaga
c)      Pemisahan secara tegas kepemimpinan dan kepemilikan pribadi
d)     Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
e)      Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
f)       Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien
g)      Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok
h)      Perbaikan sistem upah
i)        Partisipasi masyarakat untuk mengontrol kebijkan politik
2.      Melalui perbaikan kualitan sumber daya manusia, antara lain:
a)      Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman dan menmbulkan kebernian untuk melawan korupsi yang dimulai dari atas, atau pimpinan negara
b)      Perbaikan moral sebagai satu bangsa dengan cara memperkuat rasa kebangsaan dengan mulai meninggalkan ikatan kekeluargaan atau kedaerahan
c)      Meningkatkan kesadaran hokum
d)     Meningkatkan kesejahteraan rakyat
b.      Represiv (tindakan keras)
1.      Tindakan tegas kepada para tindak pidana korupsi tanpa deskriminasi atau tebang pilih atau tanpa pandang bulu
2.      Tindakan tegas dan konsisten kepada aparat penegak hokum
3.      Pemberian hukuman social kepada pelaku korupsi
4.      Memberika hukuman keras kepada para pelaku korupsi
Dengan langkah-langkah di atas ditempuh secara struktural dan continue dan rapi akan dapat menekan kasus-kasus korupsi yang ada. Dan juga akan membuat sadar para koruptor yang sering melakukan tindak korupsi maupun calon-calon koruptor yang hendak melakukan tindakan menyeleweng ini. Ada sebuah ungkapan yang terlontar dari Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M. Ag bahwa tindakan korupsi itu dapat dapat dicagah dengan dua hal: Pertama, kontrol dari luar berupa sistem pengawasan dan sistem hukum. Kedua, Kontrol dari dalam diri. Kontrol kedua inilah yang dinamakan dengan kontrol hati nurani. Baik buruknya amal perbuatan seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Jika hatinya suci, bersih, tenang, tentu amal perbuatannya juga akan baik. Sebaliknya, jika hatinya kotor, gelap, tentu amal perbuatannya juga akan buruk.  
f.       Kendala-kendala Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi amatlah suit, banyak hal yang harus diperhatikan dengan jeli agar tidk merugikan ataupun menguntungkan di salah satu pihak saja. Banyak sekali kendala yang dihadapi dalam proses pemberantasan korupsi, diantaranya :
1.      Belum memadai ketentuan hukum untuk menjerat para tindk pidana korupsi
2.      Keseriusan aparat negara dalam menangani kasus korupsi masih kurang
3.      Belum adanya keberanian dan ketegasan para penegak hukum
4.       Masih banyak para penegak hokum yang terlibat kasus suap menyuap

5.      Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete