A.
KONSEP OTONOMI DAERAH
a.
Gambaran Umum Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang
diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan
pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"),
yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
, dari isi
dan jiwa Nilai dasar Desentralisasi Teritorial pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah
bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:
1.
Dimensi Politik, Dati II
dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan
separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung
tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu
kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi
secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian
otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh
pelosok tanah air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan
otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
b. Aturan
Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan
Otonomi Daerah:
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
3.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
5.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
c. Tujuan
Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah
sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan nasional.
4. Pemerataan wilayah daerah.
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6. Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
d. Pelaksanaan
Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu
pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai
landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada
masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi
sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan
digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang
telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang
ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik
dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.
Desentralisasi, penyerahan
urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah
menjadi urusan rumah tangganya;
2.
Dekonsentrasi, pelimpahan
wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas
untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun
Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri
Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban
sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya
sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar
Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang
dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan
pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan
perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta
mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara
konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam
batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan
peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan
d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan
berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa
UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang
terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena
paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan
Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
e. Pelaksanaan
Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa
reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan
dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih
demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim
Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1.
melakukan pembagian kekuasaan dengan
pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan
memberikan otonomi kepada daerah;
2.
pembentukan negara federal; atau
3.
membuat pemerintah provinsi sebagai
agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum
desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,
yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban
daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti
penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
melalui prakarsanya sendiri.
2.
Prinsip yang menekankan asas
desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang
selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan
lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.
3.
Beberapa hal yang sangat mendasar
dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah
diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat,
yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam
Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik
luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai kewenangan
dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang
setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah
otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam
melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya
menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan
tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi
menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Provinsi meliputi wilayah
laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang
wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah
laut provinsi.
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari
Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah
daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala
daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala
wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh
Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan
Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10.
Daerah dibentuk berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah
lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
11.
Setiap daerah hanya dapat memiliki
seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam
satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.
Daerah diberi kewenangan untuk
melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah,
berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan
otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang
ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni
serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan
dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang
perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan
yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.
Pengelolaan kawasan perkotaan di
luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola
tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui
berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga
memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala
Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan
pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah
dan Kandep dihapus.
15.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung
jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila
pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh
DPRD.
B. KONSEP
DESENTRALISASI
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan.
Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi
daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus
daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan
daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat
mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.
C.
PERIMBANGAN
PUSAT DAN DAERAH
Upaya serius untuk melakukan
desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah tengah krisi
yang melanda Asia dan bertepatan dengan proes pergntian rezim. Dari rezim
otorutarian yang lebih demokratis setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, dan sebagai
reaksi yang kuat dari keenderungan sentralisasi kekuasaan dan sumber sumber
daya di pemerintah pusat selama tiga decade terakhir. Masalahnya, pemerintah
demokratis yang datang setelah pergantian rezim tidak memiliki kekuatan
“persatuan nasional” seperti yang dimiliki rezim sebelumnya, juga
tidakmmemiliki daya setrifugal politis. Banya provinsi yang kaya dengan sumber
daya alam menyatakan ketidakpuasan akan hasil eksploitasi sumber daya alamnya
yang sebagian besar digunakan oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan
pusat telah mengakibatkan kesenjangan regional antara Jakarta atau Jawa dengan
luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia
(Kuncoro, 2002). Rasa sentiment yang muncul adalah sumbangan yang sangat besar
yang diberikan propinsi yang kaya akan sumber daya alam pada pembangunan
ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.
Berpijak pada tiga asas desentralisasi (dekonsentrasi,
desentralisasi, dan tugas pembantuan), pengaturan hubungan keuangan
pusat-daerah didasarkan atas 3 asas : (1) Urusan yang merupakan tugas
pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas
beban APBN, (2) Urusan yang merupakan tugas oemerintah daerah sendiri dalam
rangka desentralisasi biaya dan atas beban APBD, (3) Urusan yang merupakan
tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang
dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas
beban APBN oleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai
pihak yang menugaskan.
Analisis Dana Perimbagan Pusat dan Daerah
a.
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pengertian dan sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah, daerah didorong agar dapat
berkreasi dan berinovasi dalam mencari
sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah.
Salah satu alternative sumber penerimaan tersebut adalah pajak dan retribusi
daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang pemerintahan daerah
sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari daerah itu
sendiri (Abidin, 2002).
Menurut Mardiasmo (2002:132),
“pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah”.
Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan PAD adalah:
“Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD
yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi.
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun
1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam Saragih (2003:61), yang
dimaksud dengan pajak daerah adalah “iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah”. Menurut Halim (2004:67), “pajak daerah merupakan pendapatan daerah
yang berasal dari pajak”. Dalam Pudyatmoko (2002:14) dijelaskan Jenis-jenis
pajak daerah untuk Propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan UU Nomor 34 Tahun
2000 tersebut disebutkan dalam Pasal
2 :
a. Jenis Pajak Propinsi yang terdiri dari:
1)
Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
2)
Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
3)
Pajak Bahan
Kendaraan Bermotor
4)
Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan
b. Jenis Pajak Kabupaten/ Kota yang terdiri dari:
1)
Pajak hotel
2)
Pajak
restoran
3)
Pajak
hiburan,
4)
Pajak
reklame,
5)
Pajak
penerangan jalan,
6)
Pajak
pengambilan bahan galian golongan C,
7)
Pajak parker
b. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Menurut UU No. 33 tahun 2004, “Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang
selanjutnya disebut APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD”. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Unsur-unsur
APBD adalah sebagai berikut:
1.
rencana
kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2.
adanya
sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya
sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan
batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
3.
jenis
kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4.
periode
anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
Sebagai alat pemerintah yang digunakan dalam menggerakkan roda pemerintahan
dan pembangunan, anggaran dalam organisasi publik memiliki beberapa fungsi. Pengendalian,
kebijakan fiskal, politik, koordinasi, evaluasi kinerja, memotivasi
manajemen,dan menciptakan ruang publik.
Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang
antara lain digunakan untuk:
1.
Merumuskan
tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan,
2.
Merencanakan
berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta
merencanakan alternatif sumber pembiayaannya,
3.
Mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun,
4.
Menetukan
indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang
digunakan antara lain untuk:
1.
Mengendalikan
efisiensi pengeluaran,
2.
Membatasi
kekuasaan atau kewenangan Pemda,
3.
Mencegah
adanya overspending, underspending dan salah satu sasaran (misappropriation)
dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas,
4.
Memonitor
kondisi keuangan dan pelaksanaan operasioanl program atau kegiatan pemerintah.
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal digunakan
untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian
fasilitas, dorongan, dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Anggaran sebagai alat politik digunakan
untuk memetuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas
tersebut. Anggran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif
dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan
tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan
alat politik (pilitical tool). Oleh karena itu, penyusunan anggaran membutuhkan
political Skill, qualition building,keahlian bernegoisasi, dan pemahaman
tentang prinsip manajemen keuangan publik. Kegagalan dalam melaksanakan
anggaran yang telah disetujui dapat menurunkan kredibilitas atau bahkan
menjatuhkan kepemimpinan eksekutif.
Angggaran sebagai alat koordinasi
antar unit kerja daalm organisasi poemda yang terlibat dalam proses penyusunan
anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Disamping
itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja.
Anggaran sebagai alat evaluasi
kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi
wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat. Kinerja Pemda akaln dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat
direalisasikan.
Anggaran sebagai alat untuk
memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien
dalam mencapai target kinerja. Agar dapat memotivasi pegawai,
anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but
achievable.Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasioanal
yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Anggaran sebagai alat untuk
menciptakan ruang publik (public sphere), dalam arti bahwa proses penyusunan
anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan masyarakat
tersebut dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang
hasilnya digunakan sebagai dasar perumusan arah dan kebijakan umum anggaran.
Kelompok masyarakat yang terorganisir umumnya akan mencoba mempengaruhi
anggaran untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang
terorganisir akan mempercayakan aspirasinga melalui proses politik yang ada.
Jika tidak ada alat untuk menyampaikan aspirasi mereka, maka mereka akan
melakukan tindakan-tindakan lain: misal, tindakan massa, melakukan boikot,
vandalisme, dan sebagainya.
Peraturan pemerintah (2000) menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah selanjutnya disingkat (APBD) adalah suatu rencana keuangan
tahunan Daerah sebagai dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran
tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana pemerintah daerah
yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. APBD pada hakekatnya merupakan
salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan
pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Salah satu aspek penting
dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan dan anggaran daerah.anggaran daerah atau APBD merupakan
instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah,menduduki posisi sentral dalam
upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.Anggaran
daerah seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan
dan belanja,alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan serta
alat otoritas pengeluaran dimasa yang akan datang dan ukuran standar untuk
evaluasi Surat Keputusan Mendagri mengatakan bahwa penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) hendaknya mengacu pada norma dan prinsip
anggaran diantaranya :
1.
Transparansi
dan akuntabilitas anggaran.Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah
satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,bersih dan bertanggung
jawab. Selain itu setiap dana yang diperoleh,penggunaannya harus
dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Disiplin
anggaran.APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus
menigggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah,pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu,anggaran yang disusun harus dilakukan
berlandaskan azas efisiensi,tepat guna,tepat waktu dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3.
Keadilan
anggaran.Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah
wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
4.
Efisiensi
dan efektifitas anggaran.Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik
mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimal guna kepentingan masyarakat.Oleh karena itu,untuk dapat mengendalikan
tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran,maka dalam perencanaan perlu
ditetapkan secara jelas tujuan,sasaran,hasil dan manfaat yang akan diperoleh
masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
5.
Format
anggaran.Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau
defisit (surplus defisit budget).Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.Apabila terjadi
surplus,daerah dapat membentuk dana cadangan,sedangkan bila terjaadi defisit
dapat ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaaan pinjaman dan atau
penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
c.
Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1.
Fungsi
Otorisasi : Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan.
2.
Fungsi
Perencanaan : Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3.
Fungsi
Pengawasan : Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
4.
Fungsi
Alokasi :Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5.
Fungsi
Distribusi : Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan
6.
Fungsi
Stabilisasi : Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
d.
Prinsip-prinsip anggaran daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran
Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana
bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1.
Kesatuan, Azas ini menghendaki agar semua
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2.
Universalitas, Azas ini mengharuskan agar
setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3.
Tahunan, Azas
ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
4.
Spesialitas,
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terincisecara jelas
peruntukannya.
5.
Akrual, Azas
ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang
seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang
seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada
kas
6.
Kas, Azas
ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi
pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003,
dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
e.
Struktur APBD
Dengan
dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah, maka akan membawa konsekuensi terhadap
berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD.
Sebelum UU Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini
adalah anggaran yang berimbang dimana jumlah penerimaan atau pendapatan sama
dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan
bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan
daerah. Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan
kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah.
Adapun struktur APBD berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006, “Struktur
APBD merupakan satu kesatuan terdiri dari: a). Pendapatan Daerah, b). Belanja
Daerah, dan c). Pembiayaan Daerah”.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan yang dianggarkan dalam
APBD meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum Daerah, yang
menambah ekuitas dana, merupakan hak Daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak
perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan Daerah dikelompokkan sebagai
berikut:
2.
Pendapatan
Asli Daerah
Kelompok pendapatan asli daerah
dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a. Pajak Daerah,
b. Retribusi Daerah,
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
3.
Belanja
Daerah
Belanja
Daerah merupakn semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkuutan. Berdasarkan
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, Belanja terdiri dari:
a.
Belanja
Aparatur Daerah,
b.
Belanja
Pelayanan Publik,
c.
Belanja Bagi
Hasil dan Bantuan Keuangan,
d.
Belanja
Tidak Tersangka.
4.
Pembiayaan Daerah
Pembiayaan disediakan untuk
menganggarkan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada Tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya, yang terdiri atas:
a.
Penerimaan
Pembiayaan
b.
Sisa lebih
perhitungan anggaran Tahun lalu (SILPA)
Sisa lebih perhitungan anggaran
Tahun lalu merupakan selisih lebih antara realisasi pendapatan dengan belanja
Daerah yang dalam APBD Induk dianggarkan berdasarkan estimasi. Sedangkan
realisasi SILPA dianggarkan dalam perubahan APBD sesuai dengan yang ditetapkan
dalam peraturan Daerah tentang penetapan perhitungan APBD tahun sebelumnya
c.
Pencairan
dana cadangan
Pemerintah daerah dapat membentuk
dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat
sekaligus/sepenuhnya dibevbankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana
cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang
berkenaan ditetapkan dengan peraturan daerah dan ditempatkan direkening
sendiri. Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana
cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum Daerah dalam Tahun
anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang
telah ditetapkan dalam peraturan Daerah tentang pembentukan dana cadangan
berkenaan.
d.
Penerimaan
Pinjaman dan Obligasi
Penerimaan Pinjaman dan Obligasi
digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang mengakibatkan Daerah
menerima sejumlah uang dari semua pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Penerimaan Pinjaman dan Obligasi yang
dianggarkan disesuaikan dengan rencana penarikan pinjaman dalam tahun anggaran
sesuai dengan perjanjian pinjaman.
e.
Hasil
Penjualan Aktiva Daerah yang Dipisahkan
Penerimaan hasil penjualan Aktiva
Daerah yang dipisahkan digunakan untuk menganggarkan hasil penjualan kekayaan
Daerah yang dipisahkan dapat berupa penjualan perusahaan milik Daerah/BUMD,
penjualan aktiva milik Pemerintah Daerah yang dikerjasamakan dengan pihak
ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal Pemerintah Daerah.
f.
Penerimaan
Kembali Pemberain Pinjaman
Penerimaan Kembali Pemberain
Pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang
diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah Daerah lainnya.
g.
Pengeluaran
Pembiayaan, mencakup:
1.
Pembentukan
Dana Cadangan
2.
Investasi
(Penanaman Modal) Pemerintah Daerah.
Investasi Pemerintah Daerah
digunakan untuk menganggarkan kekayaan Pemerintah yang diinvestasikan babik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
3.
Investasi
jangka pendek, mencakup deposito berjangka waktu 3 (tiga) bulan sampai denga 12
(dua belas) bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian surat
utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan
Negara (SPN).
4.
Investasi
Jangka Panjang terdiri dari investasi permanen dan non permanen antara lain
surat berharga yang dibeli pemerintah dalam rangka mengendalikan suatu Badan
Usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham
pada suatu Badan Usaha.
h.
Sisa lebih
pembiayaan tahun anggran berjalan digunakan untuk menganggarkan sisa lebih
antara pembiayaan netto dengan surplus/defisit APBD. Pembiayaan Netto merupakan
selisih antara penerimaan pendanaan dengan pengeluaran pendanaan yang harus
dapat menutup defisit anggaran yang direncanakan.
i.
Jumlah yang
dianggarkan pada sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan pada APBD induk
merupakan angka estimasi berhubung jumlah selisih lebih perhitungan anggaran
pada tahun lalu yang juga masih angka estimasi.
j.
Dalam
perubahan APBD Tahuin berjalan, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan
tersebut dianggarkan sepenuhnya untuk mendanai program dan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan Daerah sehingga jumlahnya menjadi sama dengan nol.
D.
DAYA SAING DAN INDIKATOR DAYA SAING DAERAH
a. Pengertian daya saing
Pada dasarnya sebuah wilayah yang memiliki suatu
produk akan berhasil bila suatu produk yang dibuatnya/ diciptakan memiliki
sesuatu yang lebih dari yang lain sehingga harga yang akan dibuatnya akan
semakin tinggi. Maka dari itu hari-hari ini banyak produk yang dipasarkan
sehingga muncul sebuah daya saing yang ketat dan yang memenuhi syarat
pengujian.
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk
barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan
juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau
kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang
tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal.
Daya saing juga dapat juga diartikan sebagai kapasitas
bangsa untuk menghadapi tantangan persaingan pasar internasional dan tetap
menjaga atau meningkatkan pendapatan riil-nya.
Ada beberapa pengertian daya saing yang mencakup
wilayah, sebagai berikut :
1.
Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan
masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi
warga/penduduknya .
2.
Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing
(eksternal) dan menentukan peran produktifnya .
3.
Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai
pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka
pada persaingan domestik dan internasional .
b.
Hal hal yang berpengaruh terhadap daya saing
1.
Iklim yang kondusif
Pada hal ini peningkatan daya saing bergantung kepada
iklim. Contoh saja suatu produk teh, jika saja iklim tidak mendukung maka daya
saing di pasar akan menurun karena tanaman teh belom dapat diproduksi. Ini
dikarenakan iklim yang tidak mendukung bisa kemarau yang berkepanjangan atau
ada sebab lain.
2.
Keunggulan komparatif
Teori keunggulan komparatif merupakan teori yang
dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi
bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa
keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang
dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya.
Adapun keunggulan kompetitif lebih mengarah pada bagaimana suatu daerah itu
menggunakan keunggulan-keunggalannya itu untuk bersaing atau berkompetisi
dengan daerah lain.
3.
Keunggulan kompetitif
Seperti contoh diatas, keunggulan kompetitif Indonesia
akan lebih besar dibanding Malaysia untuk bersaing di pasar internasional.
Sebaliknya dalam perdagangan Timah, Malaysia memiliki keunggulan kompetitif lebih
baik dibanding Indonesia.
c. Beberapa indikator meningkatnya daya saing
1. Pertama yakni makroekonomi, di
mana indikator daya saing dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan
ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca
antara ekspor dan impor.
2. Kedua, kualitas infrastruktur. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan sektor infrastruktur, sektor ini diketahui telah mengalami peningkatan dari semula dari peringkat 96 menjadi peringkat 90.
3. Ketiga, kesehatan dan pendidikan dasar yang meningkat dari peringkat 82 menjadi peringkat 62. Menurut laporan Program (Millenium Development Goals/MDG's), pada 2010 bidang kesehatan masih perlu ditingkatkan terutama dalam masalah gizi buruk, kematian ibu sewaktu melahirkan, dan penyakit HIV AIDS.
2. Kedua, kualitas infrastruktur. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan sektor infrastruktur, sektor ini diketahui telah mengalami peningkatan dari semula dari peringkat 96 menjadi peringkat 90.
3. Ketiga, kesehatan dan pendidikan dasar yang meningkat dari peringkat 82 menjadi peringkat 62. Menurut laporan Program (Millenium Development Goals/MDG's), pada 2010 bidang kesehatan masih perlu ditingkatkan terutama dalam masalah gizi buruk, kematian ibu sewaktu melahirkan, dan penyakit HIV AIDS.
Sedangkan untuk bidang pendidikan menunjukkan
kenaikan. Partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan SD tercatat sebesar
94,7 persen, SMP sebesar 66,5 persen, serta melek huruf sebesar 99,4 persen.
Dengan adanya peningkatan peringkat daya saing Indonesia, ini menunjukkan peningkatan kepercayaan dunia usaha terhadap upaya Pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur dan iklim usaha di Indonesia. Selain itu kenaikan peringkat ini diharapkan akan mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
Dengan adanya peningkatan peringkat daya saing Indonesia, ini menunjukkan peningkatan kepercayaan dunia usaha terhadap upaya Pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur dan iklim usaha di Indonesia. Selain itu kenaikan peringkat ini diharapkan akan mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
d. Indicator utama pembentuk daya saing :
1.
Lingkungan usaha produktif
2.
Perekonomian daerah
3.
Ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia
4.
Infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan
5.
Perbankan dan lembaga keuangan
E. GOOD GOVENANCE
Good Governance adalah suatu peyelegaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara
administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good governance pada dasarnya adalah suatu
konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang
dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan
pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai
benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang
dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang
menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governancemerupakan salah
satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan
tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15
tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan
berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih
banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan
akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
a.
Konsep Good Governance
Konsep
good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur
hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor
terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya
sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang
tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik
kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan
internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu
terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good
governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan
jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata
“sepakat”.
Konsep
Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak yaitu
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian masih banyak yang rancu
memahami konsep Governance. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan
governance sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya
dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena
pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang
membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor
(sektor swasta) dan civil society (msyarakat madani). Karenanya memahami
governanceadalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah
(birokrasi), sektor swasta dancivil society dalam suatu aturan main yang
disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan
ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor
swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan
memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society
harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas
perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap
jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
Dalam
konsep ini, Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat
dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban
kepada public
Kunci
utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja
suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari
pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu
sebagaimana tertera di bawah ini:
1.
Partisipasi
Masyarakat
Semua
warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan
mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi
secara konstruktif.
2.
Tegaknya
Supremasi Hukum
Kerangka
hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya
hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparansi
Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau.
4.
Peduli
pada Stakeholder
Lembaga-lembaga
dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang
berkepentingan.
5.
Berorientasi
pada Konsensus
Tata
pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
6.
Kesetaraan
Semua
warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka.
7.
Efektifitas
dan Efisiensi
Proses-proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga
masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal
mungkin.
8.
Akuntabilitas
Para
pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9.
Visi
Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
Menerapkan praktik good governance dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil,
dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good
governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada
beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai
menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama
juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat
publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan
penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat
mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja
pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga,
dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang
selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah
dan nyata melalui pelayanan publik.
Fenomena pelayanan
publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur
pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan
pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini
birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan
pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam
pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara
pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya
sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan
bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan
kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang
dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada
budaya kekuasaan.
Upaya untuk menghubungkan
tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan
hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance
(tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik)
tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi
lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya
dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara
jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan
Good Governance meliputi :
ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
1.
Reformasi
birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat
2.
Tingginya
kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikanz
3.
Masih
tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih
lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.
Makin
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.
Meningkatnya
tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain
transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.
Meningkatnya
tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan
dalam era desentralisasi;
7.
Rendahnya
kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur
F. KORUPSI
a.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Banyak
para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai
makna yang sama.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk alas
jasa juga termasuk dalam korupsi.
Wertheim
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh
seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya atau
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga
dapat dianggap sebagai korupsi.
Dalam
keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi
adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan
masyarakat. Sehingga,
dalam arti yang luas dapat diperoleh kesimpulan bahwa korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
b. Penyebab Terjadinya Korupsi Di
Indonesia
Faktor penyebab terjadinya korupsi secara umum juga
dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
1. Faktor Internal
Factor Internal yaitu faktor yang
ada dalam diri seorang pemegang amanah yang mendororng melakukan penyalahgunaan
kekuasaan demi keuntungan prinadi atau kelompok tertentu. Faktor ini sangat
beragam, misalnya: sifat rakus terhadap harta/kekayaan, sifat iri kepada orang
lain, atau terbentur kebutuhan mendesak yang memicu seorang melakukan korupsi.
2.
Faktor
Eksternal
Faktor Eksternal yaitu sistem
pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang sehingga dapat memeberikan
kesempatan kepada pemegang amanah untuk melakukan korupsi. Faktor ini juga
senantiasa berkembang, misalnya lemahnya pengawasan, lemahnya hukum, penegak
hukum yang mudah disuap, sanksi hukum yang lebih ringan dibanding dengan hasil
korupsi, tidak ada teladan kujujuran dari para pemimpin dan lain-lain.
Secara umum terjadinya korupsi
disebabkan oleh setidaknya tiga hal:
a. Corruption by great (keserakahan)
Korupsi ini banyak terjadi pada
orang yang sebenarnya tidak butuh, tidak terdesak secara ekonomi, bahkan
mungkin sudah kaya. Jabatan tinggi, gaji besar, runah mewah, popularitas
menanjak, tetapi kerakusan yang tak terbendung menyebabkannya terlibat praktik
korupsi. Hal ini sudah pernah diperingatkan oleh Nabi saw bahwa kalau saja
seorang anak Adam telah memilii dua lembah emas, iapun berkeinginan untuk
mendapatkan tiga lembah emas lagi.
b. Corruption by need (kebutuhan).
Korupsi yang dilakukan karena
keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need). Misalnya,
korupsi yang dilakukan seseorang yang gajinya sangat rendah jauh dibawah
standar upah minimum dan terdesak untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu
sperti membayar SPP anakanya yang masih bersekolah. Korupsi ini banyak
dilakukan oleh pegawai/karyawan kecil, polisi/prajurit rendahan, buruh kasar
tukang parker, sopir, angkutan umum dan lain-lain.
c. corruption by chance (peluang)
Korupsi ini dilakukan karena
adanya peluang yang besar unuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya
melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan secara instan dan sebagainya.
Biasanya hal ini didukung oleh lemahnya sistem organisasi, rendahnya
akuntabilitas pubilk longgarnya pengawasan masyarakat, dan keroposnya penegakan
hukum, yang diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera.
3. Faktor Umum yang mendorong terjadinya
korupsi
a. Rendahnya pengamalan nilai-nilai agama
dalam kehidupan sehari-hari
Hal
ini dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pendidikan agama yang terlalu
menekankan aspek kognitif dan melupakan aspek afektif dan psikomotorik, atau
bertambahnya ilmu pengetahuan agama tanpa dibarengi dengan peningkatan
pengamalan.
b. Struktur pemerintahan atau kepemimpinan
organisasi yang bersifat tertutup (tidak transparan) dan cenderung otoriter.
Dalam
kondisi demikian, kecenderungan terjadi penyelewengan kekuasaan sangat tinggi.
c. Kurang berfungsinya lembaga perwakilan
rakyat
(DPR,
DPD dan DPRD) sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif (presiden, gubernur,
bupati, walikota dan lain-lain). Biasanya diawali dengan cara yang tidak sah
dalam memperoleh kekuasaan (jabatan politik) dengan money politics, manipulasi
surat suara atau politik dagang sapi. Jika rekrutmen politiknya bermasalah,
maka pada gilirannya kekuasaan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau
kelompok mengabaikan tanggung jawab sosial, serta mengahalalkan segala cara.
d. tidak berfungsinya lembaga pengawasan
dan penegak hukum, serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi
Sebuah
kepemimpinan atau pemerintahan yang tidak dibarengi dengan pengawasan yang
ketat cenderung bertindak korup (power tends to corrup) apalagi ditamabah jika
penegak hukumnya tidak jujur dan tidak adil
e. mimimnya keteledanan pemimpin atau
pejabat dalam kehidupan sehari-hari.
f. Keteladan yang baik dari para pemimpin
menjadi sangat penting, sebab masyarakat luas lebih cenderung meniru
pemimpinnya. Lihat saja pada zaman sekarang ini sulit sekali mencari pemimpin
sederhana, hemat, qona’ah (menerima dan menikmati rahmat yang sudah ada), wara’
(menjaga diri dari hal-hal yang remang-remang atau syubhat), dermawan, dan
tidak bermental rakus. Tapi malah sebaliknya, banya pemimpin yang justru hidup
bermewah-mewahan, boros, pelit sombong, dan rakus.
g. Keenam, rendahnya upah pegawai/karyawan
yang berakibat rendahnya tingat kesejahteraan. Tingkat upah atau gaji juga ikut
berpengarung pada meluasnya tindak kesejahteraan
c.
Undang-undang yang mengatur korupsi
di Indonesia
1. UU
No. 3/1971 tentang Pemberantasan Korupsi
2. UU
No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
3. UU
No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. PP
No.71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
5. UU
No. 15/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. UU
No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. UU
No. 7/2006 tentang United Nation Convention Againest Corruption
8. Instruksi
Presiden RI No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
d.
Dampak
Korupsi Terhadap Perekonomian dan Keutuhan NKRI
Korupsi pasti akan menimbulkan
dampak yang buruk bagi suatu kelompok maupun Negara. Dampak dari korupsi
adalah:
1. Merugikan
Negara maupun kelompok
2. Menghabiskan
atau memakan uang atau harta Negara atau kelompok untuk kepentingan pribadi
3. Menjadikan
Negara miskin
4. Menjadikan
Negara memiliki hutang yang banyak di luar negeri
5. Menimbulkan
ketidakadilan dalam hal pendapatan dan kekayaan
6. Menimbulkan
naiknya jumlah pengangguran
7. Menimbulkan
kesengsaraan rakyat
8. Menimbulkan
gejolak dan pertentangan antar pihak
9. Menimbulkan
pergolakan perekonomian
10. Memecah
belah pejabat pemerintahan
11. Menghilangkan
kepercayaan rakyat kepada pejabat
12. Menimbulkan
permusuhan
13. Menimbulkan
kekacauan di berbagai bidang
e.
Upaya dan strategi pemberantasan
korupsi
Dalam
upaya pemberantasan korupsi harus ada
sikap tegas dari penegak hukum, pengawasan yang ketat, dan juga adanya peran dari segenap masyarakat
yang ikut berpartisipasi dalam melawan korupsi. Ada bebrapa langkah strategis
(umum) yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Upaya tersebut adalah sebagai berikut :
a. Preventiv
1.
Melalui
perbaikan system, antara lain :
a) Memperbiki
peraturan perundang undangan yang ada serta terus menerus memerhatikan
perkembangan korupsi
b) Memperbaiki
cara kerja pemerintah (birokrasi) menjadi lebih simple dan efisien dengan
menerapkan prinsip-prinsip good governance sert penegakan etika dan sanksi pada
lembaga
c) Pemisahan
secara tegas kepemimpinan dan kepemilikan pribadi
d) Menanamkan
semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan
negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
e) Melakukan
penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
f) Sistem
keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien
g) Melakukan
pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok
h) Perbaikan
sistem upah
i)
Partisipasi
masyarakat untuk mengontrol kebijkan politik
2.
Melalui perbaikan kualitan sumber
daya manusia, antara lain:
a) Memperbaiki
moral manusia sebagai umat beriman dan menmbulkan kebernian untuk melawan
korupsi yang dimulai dari atas, atau pimpinan negara
b) Perbaikan
moral sebagai satu bangsa dengan cara memperkuat rasa kebangsaan dengan mulai
meninggalkan ikatan kekeluargaan atau kedaerahan
c) Meningkatkan
kesadaran hokum
d) Meningkatkan
kesejahteraan rakyat
b. Represiv
(tindakan keras)
1. Tindakan
tegas kepada para tindak pidana korupsi tanpa deskriminasi atau tebang pilih
atau tanpa pandang bulu
2. Tindakan
tegas dan konsisten kepada aparat penegak hokum
3. Pemberian
hukuman social kepada pelaku korupsi
4. Memberika
hukuman keras kepada para pelaku korupsi
Dengan langkah-langkah di atas ditempuh secara
struktural dan continue dan rapi akan dapat menekan kasus-kasus korupsi yang
ada. Dan juga akan membuat sadar para koruptor yang sering melakukan tindak
korupsi maupun calon-calon koruptor yang hendak melakukan tindakan menyeleweng
ini. Ada sebuah ungkapan yang terlontar dari Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M. Ag
bahwa tindakan korupsi itu dapat dapat dicagah dengan dua hal: Pertama, kontrol
dari luar berupa sistem pengawasan dan sistem hukum. Kedua, Kontrol dari dalam
diri. Kontrol kedua inilah yang dinamakan dengan kontrol hati nurani. Baik
buruknya amal perbuatan seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Jika
hatinya suci, bersih, tenang, tentu amal perbuatannya juga akan baik.
Sebaliknya, jika hatinya kotor, gelap, tentu amal perbuatannya juga akan
buruk.
f. Kendala-kendala
Pemberantasan Korupsi
Upaya
pemberantasan korupsi amatlah suit, banyak hal yang harus diperhatikan dengan
jeli agar tidk merugikan ataupun menguntungkan di salah satu pihak saja. Banyak
sekali kendala yang dihadapi dalam proses pemberantasan korupsi, diantaranya :
1.
Belum
memadai ketentuan hukum untuk menjerat para tindk pidana korupsi
2.
Keseriusan
aparat negara dalam menangani kasus korupsi masih kurang
3.
Belum
adanya keberanian dan ketegasan para penegak hukum
4.
Masih banyak para penegak hokum yang terlibat
kasus suap menyuap
5.
Kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut