Sunday, July 31, 2016

Filled Under:

Sejarah Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Sejarah Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan

Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang terletak di Selat Makasar, di perbatasan antara kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur). Pulau Sipadan memiliki luas 50000 m2 dan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik (Indonesia). Sementara Pulau Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000m2 dan luas 7,9 ha yang terletak 21 mil laut (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya 7,9 Ha.
Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Konflik bermula ketika Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967. Perselisihan pendapat mulai mencuat dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan penetapan batas landas kontinen. Indonesia dan Malaysia saling meng-klaim dan menyatakan kedua pulau itu merupakan bagian integral dari wilayah negaranya. Pada awalnya pemerintah indonesia bersikap lunak dan beralasan, tidak tepat untuk bertindak dengan keras dengan Malaysia karena menyusul persetujuan rujuk kedua negara 11 Agustus 1966.
Sengketa Ligitan dan Sipadan sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam peraturan tentang Perlindungan Penyu ( Turtle Preservation Ordinance ) oleh pemerintah Inggris pada tahun 1917. Keputusan ini ditentang oleh pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski gejolak bisa teredam.
Sementara itu yang menjadikan dasar klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan Bagian selatan garis paralel menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di Kalimantan.
Sedangkan Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk mendapatkan klaim kedua pulau tersebut yaitu dengan berdasar Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Sehingga Indonesia tidak cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.
Walaupun dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, namun perundingan bilateral tidak mampu menemukan titik temu bagi kedua negara untuk menyelesaikan konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga pada tahun 1988 indonesia dan Malaysia sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Kesepakatan ini diambil ketika PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta padatahun 1988. Kesepakatan ini kemudian dikukuhkan saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur dua tahun berikutnya.
Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa. Kemudian Juga TNI AL menangkap kapal pukat MV Pulau Banggi ketika menangkap ikan di perairan Sipadan. Kapal yang terbuat dari bahan fiberglass sempat diseret ke pangkalan TNI AL di Tarakan.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan pendekatan dan membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua negara terus berupaya menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral. Jika tidak bisa melalui jalan bilateral Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya melalui ”Treaty of Amity and Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High Council atau dewan tinggi yang beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak antara kedua negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada tahun 1993 yang nyaris terjadi baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau Sipadan. Kemudian pada 29 September 1996 sempat terjadi baku tembak antara kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.

B.                Upaya-upaya Indonesia dalam menangani sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Indonesia melakukan perundingan bilateral dengan malaysia, namun perundingan ini tidak menemukan titik temu, sehingga pada tahun 1988 Indonesia dan Malaysia sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”.
Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan pendekatan dan membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua negara terus berupaya menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral. Jika tidak bisa melalui jalan bilateral Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya melalui ”Treaty of Amity and Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High Council atau dewan tinggi yang beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak antara kedua negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada tahun 1993 yang nyaris terjadi baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau Sipadan. Kemudian pada 29 September 1996 sempat terjadi baku tembak antara kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.
Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasehat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk membuktikan kepemilikannya. Lalu Pemerintah Indonesia-Malaysia sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1997. 

C.                Keputusan Mahkamah Internasional
MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.[4]
MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.[5] Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a.  Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b.  Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”.

D.                Sikap bangsa Indonesia dalam mempertahankan pulau-pulau yang lain, setelah terlepasnya Sipadan dan Ligitan  
Pelajaran yang dapat kita petik adalah bahwa lepasnya Ligitan dan Sipadan sebenarnya merupakan peringatan penting bagi pemerintah untuk lebih memerhatikan pulau-pulau di Nusantara yang jumlahnya tidak kurang dari 17.506 pulau di seluruh Indonesia.
Dalam kasus perbatasan Indonesia-Malaysia, Indonesia selalu kalah dari dahulu sampai sekarang, ini artinya Malaysia mengetahui persis kelemahan-kelemahan Indonesia (dengan bantuan Inggris tentunya). Dan di sisi lain, Malaysia menutup rapat-rapat kelemahan yang dimilikinya ( termasuk berlindung dalam negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris ) agar tidak sampai diketahui atau ditembus oleh Indonesia.
Oleh karena itu, saatnya bagi kita untuk menutupi kelemahan-kelemahan Indonesia ( khususnya dalam diplomasi internasional ) dan menerapkan sistem HANKAMRATA serta wajib militer bagi rakyat Indonesia, agar camar bulan dan wilayah NKRI lainnya tidak berpindah ke pangkuan negara lain.

Kasus lepasnya pulau sipadan dan pulau ligitan menjadi pelajaran berharga.  Malaysia menang karena secara intensif memeberi perhatian terhadap pulau itu. Mereka mendirikan bangunan sebagai symbol bahwa mereka talah merawat dan menjadi pemilik pulau indah itu. Kita tidak boleh kehilangan perhatian terhadap asset yang kita miliki. Garis perbatasan yang berpotensi dicaplok Malaysia harus kita jaga dengn penuh perhatian. Dibidang seni dan budaya, kita tidak boleh lengah, segala asset yang kita miliki harus dijaga, baik dari sisi legal (hak cipta) maupun eksistensinya. Disamping itu kita juga harus tetap menjalin hubungan yang sehat terhadap Malysia, kerukunan antar negarapun begitu penting.

1 komentar:

  1. Bacanya bikin meningkatkan nasionalisme bagi para pembaca , izin share ya

    ReplyDelete