BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan
Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian
kepulauan yang terletak di Selat Makasar, di perbatasan antara kalimantan timur
dan Sabah (Malaysia Timur). Pulau Sipadan memiliki luas 50000 m2 dan
dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah
(malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik
(Indonesia). Sementara Pulau Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas
18.000m2 dan luas 7,9
ha yang terletak
21 mil
laut (34 km) dari
pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai Pulau Sebatik diujung timur
laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya
7,9 Ha.
Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah
kesatuan Republik Indonesia dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Konflik bermula
ketika Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada
tahun 1967. Perselisihan pendapat mulai mencuat dua tahun berikutnya, yaitu
tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan penetapan batas landas kontinen.
Indonesia dan Malaysia saling meng-klaim dan menyatakan kedua pulau itu
merupakan bagian integral dari wilayah negaranya. Pada awalnya pemerintah
indonesia bersikap lunak dan beralasan, tidak tepat untuk bertindak dengan
keras dengan Malaysia karena menyusul persetujuan rujuk kedua negara 11 Agustus
1966.
Sengketa Ligitan dan Sipadan sebenarnya sudah terjadi sejak
masa kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan
pernah dimasukkan dalam peraturan tentang Perlindungan Penyu ( Turtle
Preservation Ordinance ) oleh pemerintah Inggris pada tahun 1917. Keputusan ini
ditentang oleh pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki pulau tersebut.
Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski gejolak bisa teredam.
Sementara itu yang menjadikan dasar klaim Indonesia atas
Sipadan dan Ligitan adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun
1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua
negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda dan negara-negara yang
dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari titik 4 menit 10 detik
lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di tarik
ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang
terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan Bagian selatan garis paralel
menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan
Ligitan menjadi masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang
merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua
wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari
kerajaan Kutai di Kalimantan.
Sedangkan Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk
mendapatkan klaim kedua pulau tersebut yaitu dengan berdasar Traktat Paris
tahun 1809 yang merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian
perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika
Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut
Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang
menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada
Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Sehingga
Indonesia tidak cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena
Indonesia setelah ditinggalkan Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua
pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di
telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.
Walaupun dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, namun
perundingan bilateral tidak mampu menemukan titik temu bagi kedua negara untuk
menyelesaikan konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga pada tahun
1988 indonesia dan Malaysia sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Kesepakatan ini diambil
ketika PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta padatahun 1988. Kesepakatan ini
kemudian dikukuhkan saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur dua tahun
berikutnya.
Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak
terjadi konflik di kedua pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui
Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena Malaysia membangun fasilitas
di daerah sengketa. Kemudian Juga TNI AL menangkap kapal pukat MV Pulau Banggi
ketika menangkap ikan di perairan Sipadan. Kapal yang terbuat dari bahan fiberglass sempat diseret ke pangkalan
TNI AL di Tarakan.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan
pendekatan dan membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua
negara terus berupaya menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral.
Jika tidak bisa melalui jalan bilateral Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya
melalui ”Treaty of Amity and
Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High Council atau dewan tinggi yang
beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak
antara kedua negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada
tahun 1993 yang nyaris terjadi baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau
Sipadan. Kemudian pada 29 September 1996 sempat terjadi baku tembak antara
kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.
B.
Upaya-upaya Indonesia
dalam menangani sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Indonesia melakukan perundingan
bilateral dengan malaysia, namun perundingan ini tidak menemukan titik temu, sehingga pada tahun 1988 Indonesia dan Malaysia sepakat
menempatkan kedua pulau pada kondisi “status
quo”.
Selama ditetapkan “status quo” pada
tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua pulau tersebut seperti pada awal
juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena
Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan
pendekatan dan membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua
negara terus berupaya menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral.
Jika tidak bisa melalui jalan bilateral Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya
melalui ”Treaty of Amity and
Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High Council atau dewan tinggi yang
beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak
antara kedua negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada
tahun 1993 yang nyaris terjadi baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau
Sipadan. Kemudian pada 29 September 1996 sempat terjadi baku tembak antara
kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.
Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia
sampai menyewa lima penasehat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk
membuktikan kepemilikannya. Lalu Pemerintah Indonesia-Malaysia sepakat membawa
kasus ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1997.
C.
Keputusan
Mahkamah Internasional
MI dalam
penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa
pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia.
Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam
wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia
berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut
Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia
berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi
yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.[4]
MI juga menolak
argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur
hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah.
Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat
dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori
van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia
atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian
kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang
diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.[5] Penguasaan
efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan
masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan
dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan
bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda
atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti
dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan
kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah
tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang
ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi
penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan
Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan
dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris
sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan
legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti
:
a. Pengutipan
pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak
1917.
b. Penyelesaian
sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun
1930-an;
c. Penetapan P.
Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan
dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963
di P. Ligitan
Dalam mengkaji
bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective
occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan
bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia
mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895
hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada
November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di
perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan
oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan
perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b. Malaysia
mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation
Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka
burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya
adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai
bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960
tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau
Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu
perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat
bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama
dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan
klaim.
Mengenai
kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities
by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on
the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh
karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan
Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa
kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective
occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang
mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia
mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan
bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory
and administrative assertions of authority over territory which is specified by
name”.
D.
Sikap bangsa
Indonesia dalam mempertahankan pulau-pulau yang lain, setelah terlepasnya
Sipadan dan Ligitan
Pelajaran yang dapat kita petik
adalah bahwa lepasnya Ligitan dan Sipadan sebenarnya merupakan peringatan
penting bagi pemerintah untuk lebih memerhatikan pulau-pulau di Nusantara yang
jumlahnya tidak kurang dari 17.506 pulau di seluruh Indonesia.
Dalam kasus perbatasan
Indonesia-Malaysia, Indonesia selalu kalah dari dahulu sampai sekarang, ini
artinya Malaysia mengetahui persis kelemahan-kelemahan Indonesia (dengan
bantuan Inggris tentunya). Dan di sisi lain, Malaysia menutup rapat-rapat
kelemahan yang dimilikinya ( termasuk berlindung dalam negara-negara
persemakmuran bekas jajahan Inggris ) agar tidak sampai diketahui atau ditembus
oleh Indonesia.
Oleh karena itu, saatnya bagi kita
untuk menutupi kelemahan-kelemahan Indonesia ( khususnya dalam diplomasi
internasional ) dan menerapkan sistem HANKAMRATA serta wajib militer bagi
rakyat Indonesia, agar camar bulan dan wilayah NKRI lainnya tidak berpindah ke
pangkuan negara lain.
Kasus lepasnya pulau sipadan dan pulau ligitan
menjadi pelajaran berharga. Malaysia
menang karena secara intensif memeberi perhatian terhadap pulau itu. Mereka
mendirikan bangunan sebagai symbol bahwa mereka talah merawat dan menjadi
pemilik pulau indah itu. Kita tidak boleh kehilangan perhatian terhadap asset
yang kita miliki. Garis perbatasan yang berpotensi dicaplok Malaysia harus kita
jaga dengn penuh perhatian. Dibidang seni dan budaya, kita tidak boleh lengah,
segala asset yang kita miliki harus dijaga, baik dari sisi legal (hak cipta)
maupun eksistensinya. Disamping itu kita juga harus tetap menjalin hubungan
yang sehat terhadap Malysia, kerukunan antar negarapun begitu penting.
Bacanya bikin meningkatkan nasionalisme bagi para pembaca , izin share ya
ReplyDelete