Sunday, July 31, 2016

Filled Under:

Teori Belajar Konstruktivisme.

A.      Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme.
            Konstruktivistik atau kontruktivisme Adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.
Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang artinya membangun atau menyusun. Menurut Carin (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa teori konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang menenkankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menerima begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membengun pengetahuan secara individual. Menurut Von Glasersfeld (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya. Istilah konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark Baldwinyang secara lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep Piaget ini disebarluaskan di Amerika utara (Meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernst von Glaserfeld. Namun, konsep terkait dengan kontruktivisme (walau saat ini belum dipergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattista Vico pada tahun 1710 yang menyatakan bahwa makna “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika dia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya dia pernah mengalami sesuatu itu, mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur kognitifnya, sebagai hasil proses berpikirnya (process of mind) tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu itu telah diketahui karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya. Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatism, oleh sebab itu dapat dimaklumi jika tokoh pragmatism, John Dewey yang terkenal dengan konsep belajar dengan melakukan (Learning by doing) dikategorikan sebagai ahli pendukung Kontruktivisme.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.

B.       Teori Belajar Kontruktivisme menurut para ahli:
a.       Teori Belajar Kontruktivisme menurut Piaget
Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “Skema” atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli linguistic, psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap terhadap proses pemahaman.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.

b.      Teori konstruktivisme social dari Vygotsky
Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi kontruktivisme. Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi social (Social cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentuan utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenbanya perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaanya, termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, dimana dia berkembang.
Perbedaan Teori konstruktivisme menurut Piaget (Kontruktivistik Kognitif) dengan Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky (Konstruktivistik Sosial)
Aspek
Konstruktivistik Kognitif
Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan
Dibangun secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada
Dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu
Pandangan terhadap interaksi
Menimbulkan disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada
Meningkatkan pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi
Belajar
Proses asimilasi dan akomodasi aktif pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada
Integrasi siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi baru untuk meningkatkan pemahaman
Strategi belajar
Experience based & discovery oriented
Sharing & Cooperative learning
Peran guru
Minimal & lebih membiarkan siswa menemukan sendiri ide sehingga posisi guru sebagai pengajar menjadi kabur
Penting dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui interaksi sosial.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
C.    Prinsip-Prinsip Kontruktivisme
Ø  Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a.       Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
b.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
c.       Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
d.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e.       Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
f.       Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
g.      Mencari dan menilai pendapat siswa
h.      Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
D.  Karakteristik Teori Belajar Kontruktivistik.
1.    Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan.
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus-menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses to learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanyanya (Raka Joni, 1990)
            Kepekaan berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnbya, maupun kemudahan tersentuh hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan sang pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar dan perlu.Tanggung Jawab, bearti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan cirri-ciri di atas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam mutu kehidupan bersama.
            Langkah strategis bagi perwujudanya tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empiric di samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
            Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penangannan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu.
2.      Kontruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkontruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Manusia akan mengkontruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dirinya. Teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahan tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan serta hubungan atara pengetahuan, realitas dan kebenaran.
Menurut pendekatan konsttruktivistik pengahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruktif kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalamu reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Proses mengkontruksi pengetahuan dengan menggunakan inderanya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakain banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahaman akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S, 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan. Yaitu, 1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada lainnya.
            Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkontruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengatahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
3.      Proses belajar menurut teori konstruktivistik.
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktakhiran struktur kognitifnya.
            Proses tersebut berupa “contruting and structuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..” Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan social yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan system penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah dan sebagainya.
            Peranan siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan kontruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri.
            Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkontruksi pengetahuan baru.
            Peranan guru ialah membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
            Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
a.       Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
c.       Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajarnya adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar konstruktivistik pembelajarannya yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifitis, sedangkan pengertian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah ke kontruktivitis.
Bentuk-bentuk evaluasi kontruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkontruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill atau “strategi kognitif” dari cagne serta “sintesis” pada taksonomi Blomm juga mengkonstruksi pengalaman siswa dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
E.  Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik.
Ø  Kelebihan:
1)    Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2)    Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3)    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4)    Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuK mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks.
5)   Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6)   Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Ø  Kelemahan:
1)    Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2)    Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
   3)   Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
F. Implikasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Bimbingan dan Konseling
Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1.      Bimbingan kelompok 
Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room), permainan peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.
2.      Konseling kelompok  
Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
3.      Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha membantu orang lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja.  Konseling sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect.
4.      Konseling Postmodern

Konstruktivisme sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005). Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena dia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused Brief Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy).

2 komentar:

  1. Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami

    https://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/

    Salam Hormat,

    ReplyDelete
  2. Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami

    https://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/

    Salam Hormat,

    ReplyDelete