A.
Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme.
Konstruktivistik
atau kontruktivisme Adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis
bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi
pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.
Asal kata konstruktivisme adalah
“to construct” yang artinya membangun atau menyusun. Menurut Carin (dalam
Anggriamurti, 2009) bahwa teori konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang
menenkankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menerima begitu saja
pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membengun
pengetahuan secara individual. Menurut Von Glasersfeld (dalam Anggriamurti,
2009) bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi
dengan lingkungannya. Istilah konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah dapat
dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark Baldwinyang secara
lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep Piaget ini
disebarluaskan di Amerika utara (Meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh
Ernst von Glaserfeld. Namun, konsep terkait dengan kontruktivisme (walau saat
ini belum dipergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh
Giambattista Vico pada tahun 1710 yang menyatakan bahwa makna “mengetahui
berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu
dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika dia dapat menjelaskan
unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya dia pernah mengalami
sesuatu itu, mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur
kognitifnya, sebagai hasil proses berpikirnya (process of mind) tentang apa
sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu itu telah diketahui karena telah
dikonstruksikan dalam pikirannya. Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat
bahwa konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatism, oleh sebab itu
dapat dimaklumi jika tokoh pragmatism, John Dewey yang terkenal dengan konsep
belajar dengan melakukan (Learning by doing) dikategorikan sebagai ahli
pendukung Kontruktivisme.
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan
aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
B.
Teori Belajar Kontruktivisme menurut para ahli:
a. Teori Belajar Kontruktivisme menurut
Piaget
Teori Piaget
berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur
kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “Skema” atau konsep jejaring
untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di
sekelilingnya. Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh
para ahli linguistic, psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan
untuk menjelaskan dan memahami adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci
yang berpengaruh terhadap terhadap proses pemahaman.
Piaget
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses
tersebut meliputi:
1. Skema/skemata
adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus
mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga
berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang
datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi
adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep
awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi
adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek
seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan
akomodasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan
bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan
melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap
suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus memiliki
ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.
b. Teori konstruktivisme social dari
Vygotsky
Sebagai seseorang yang dianggap
pionir dalam filosofi kontruktivisme. Vygotsky lebih suka menyatakan teori
pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi social (Social cognition).
Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentuan utama
bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas
dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri dan setiap anak
manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenbanya
perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh
kebudayaanya, termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, dimana dia
berkembang.
Perbedaan Teori konstruktivisme
menurut Piaget (Kontruktivistik Kognitif) dengan Teori Konstruktivisme menurut
Vygotsky (Konstruktivistik Sosial)
Aspek
|
Konstruktivistik
Kognitif
|
Konstruktivistik
Sosial
|
Pengetahuan
|
Dibangun
secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh
pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada
|
Dibangun
dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu
|
Pandangan
terhadap interaksi
|
Menimbulkan
disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada
|
Meningkatkan
pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi
|
Belajar
|
Proses
asimilasi dan akomodasi aktif pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam struktur
kognitif yang sudah ada
|
Integrasi
siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi baru untuk
meningkatkan pemahaman
|
Strategi
belajar
|
Experience
based & discovery oriented
|
Sharing
& Cooperative learning
|
Peran
guru
|
Minimal
& lebih membiarkan siswa menemukan sendiri ide sehingga posisi guru
sebagai pengajar menjadi kabur
|
Penting
dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui interaksi
sosial.
|
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai
berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
C.
Prinsip-Prinsip Kontruktivisme
Ø Secara garis besar, prinsip-prinsip
Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
c. Murid aktif megkontruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
d. Guru sekedar membantu menyediakan saran
dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e. Menghadapi masalah yang relevan dengan
siswa
f. Struktur pembelajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan
g. Mencari dan menilai pendapat siswa
h. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi
anggapan siswa.
Dari
semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar
menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan
dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
D. Karakteristik
Teori Belajar Kontruktivistik.
1. Karakteristik Manusia Masa Depan yang
Diharapkan.
Upaya
membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan
masyarakat masa depan yang dikehendaki adalah manusia-manusia yang memiliki
kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil
keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang
terus-menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu
proses to learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang
luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanyanya (Raka Joni, 1990)
Kepekaan berarti ketajaman baik
dalam arti kemampuan berpikirnbya, maupun kemudahan tersentuh hati nurani di
dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain
sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan sang pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di
samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai
dengan apa yang dianggap benar dan perlu.Tanggung Jawab, bearti kesediaan untuk
menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi,
berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu
dengan cirri-ciri di atas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam
mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudanya
tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan
berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa
aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas
peranan siswa di dalam proses belajar adalah landasan yang kokoh bagi
terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut
bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empiric di samping pilihan masyarakat
(Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri handayani
merupakan wujud nyata yang yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka
menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penangannan yang
memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika
individu.
2. Kontruksi Pengetahuan
Untuk
memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia
belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka
memahami cara manusia mengkontruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia
akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu
memahami pengalamannya. Manusia akan mengkontruksi dan membentuk pengetahuan
mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dirinya. Teori
belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahan tentang apa pengetahuan itu,
proses mengkonstruksi pengetahuan serta hubungan atara pengetahuan, realitas
dan kebenaran.
Menurut
pendekatan konsttruktivistik pengahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruktif kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan adalah
sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalamu reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Proses
mengkontruksi pengetahuan dengan menggunakan inderanya. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakain
banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahaman akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von
Galserfeld (dalam Paul, S, 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan. Yaitu, 1) Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih
menyukai suatu pengalaman yang satu daripada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi
proses mengkontruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang
telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya.
Proses dan hasil konstruksi pengatahuan yang telah dimiliki seseorang akan
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
3. Proses belajar menurut teori
konstruktivistik.
Secara
konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa,
melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui
proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktakhiran struktur
kognitifnya.
Proses tersebut berupa “contruting
and structuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a
complex network of increasing conceptual consistency…..” Pemberian makna
terhadap objek dan pengalaman oleh individu tidak dilakukan secara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan social
yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh
sebab itu pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan system penghargaan dari luar seperti
nilai, ijasah dan sebagainya.
Peranan siswa (Si-Belajar). Menurut
pandangan kontruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa sendiri.
Paradigma konstruktivistik memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkontruksi
pengetahuan baru.
Peranan guru ialah membantu agar
proses pengkontruksian pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan
kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
a. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan
kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b. Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
c. Menyediakan system dukungan yang
memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.
Sarana
belajarnya adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas
lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan
untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya.
Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri,
memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif dan mampu
mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar konstruktivistik pembelajarannya
yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifitis, sedangkan
pengertian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah ke kontruktivitis.
Bentuk-bentuk evaluasi kontruktivistik dapat
diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkontruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada
taksonomi Merrill atau “strategi kognitif” dari cagne serta “sintesis” pada
taksonomi Blomm juga mengkonstruksi pengalaman siswa dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik.
Ø Kelebihan:
1) Pembelajaran konstruktivistik
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit
dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2) Pembelajaran konstruktivistik
memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang
fenomena yang menantang siswa.
3) Pembelajaran konstruktivistik
memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat
mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model
dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4) Pembelajaran konstruktivistik
memberi kesempatan kepada siswa untuK mencoba gagasan baru agar siswa terdorong
untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks.
5) Pembelajaran konstruktivistik
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari
kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan
gagasan mereka.
6) Pembelajaran konstruktivisme
memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan
gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang
benar.
Ø Kelemahan:
1) Siswa mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok
dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2)
Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri,
hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda-beda.
3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena
tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan
kreativitas siswa.
F. Implikasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam
Bimbingan dan Konseling
Berdasarkan
teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan
dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1. Bimbingan kelompok
Menurut
Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan
pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk
mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada
beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok
antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan
masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room),
permainan peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.
2. Konseling kelompok
Menurut
Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada
individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau
kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
3. Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling teman
sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang
dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha
membantu orang lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki
keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian
dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja.
Konseling sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang
kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect.
4. Konseling Postmodern
Konstruktivisme
sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan
realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005).
Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena dia selalu ditentukan
oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen
tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused Brief Therapy
(SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis
(Constructivist Therapy).
Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami
ReplyDeletehttps://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/
Salam Hormat,
Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami
ReplyDeletehttps://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/
Salam Hormat,