2.1 Revitalisasi
Pertanian
Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian. Pertama, pengertian revitalisasi
pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian –dalam arti vitalnya
pertanian - bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia; kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa
depan akan kondisi pertanian; serta ketiga,
pengertian revitalisasi sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan “proses
revitalisasi” itu sendiri.
Arti penting secara proporsional tidak dimaksudkan untuk
menjadikan bidang dan sektor lain menjadi lebih tidak penting, tetapi justru
menekankan keterkaitan, saling ketergantungan, dan sinergi. Arti penting
pertanian juga dilihat secara konstektual sesuai perkembangan masyarakat.
Pertanian tidak dipentingkan melulu karena pertimbangan masa lalu, tetapi
terutama karena pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam
masyarakat yang mengglobal, semakin modern, dan menghadapi persaingan yang
semakin ketat.
Revitalisasi pertanian juga diartikan sebagai usaha, proses
dan kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan
kemampuannya, membangun daya-saingnya, meningkatkan kinerjanya, serta
menyejahterakan pelakunya, terutama petani, nelayan, dan petani hutan; sebagai
bagian dari usaha untuk menyejahterakan seluruh rakyat.
2.2 Ruang Lingkup Pertanian
Sektor pertanian yang
dimaksudkan dalam konsep pendapatan nasional menurut lapangan usaha atau sektor
produksi ialah pertanian dalam arti luas. Di Indonesia, sektor pertanian dalam
arti luas ini dipilah-pilah menjadi lima subsektor, yaitu:
1. Subsektor
Tanaman Pangan,
2. Subsektor
Perkebunan,
3. Subsektor
Kehutanan,
4. Subsektor
Peternakan, dan
5. Subsektor
Perikanan.
Masing-masing
subsektor, dengan dasar klasifikasi tertentu, dirinci lebih lanjut menjadi subsektor
yang lebih spesifik. Nilai tambah sektor pertanian dalam perhitungan PDB tidak
lain merupakan hasil penjumlahan nilai tambah dari subsektor-subsektor ini.
Perhitungan dilakukan oleh Biro Pusat Statistik. Sumber data sebagian hasil
pencacahan oleh BPS sendiri, sebagian lagi berasal dari instasi teknis seperti
Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. Nilai tambah subsektor-subsektor tersebut dihitung dengan
menggunakan pendekatan produksi. Tingkat harga yang dipakai untuk menghitung
nilai produksi adalah haraga pada tingakat perdagangan besar.
Subsektor tanaman
pangan seringjuga disebut subsektor pertanian rakyat. Disebut demikian karena
tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat, maksudnya bukan oleh perusahaan
atau pemerintah. Subsektor ini mencakup komoditas-komoditas bahan makanan
seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai, serta
sayur-sayuran dan buah-buahan.
Subsektor perkebunan
dibedakan atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Yang dimaksud dengan
perkebunan rakyat ialah perkebunan yang diusahakan sendiri oleh rakyat atau
masyarakat, biasanya dalam skala kecil-kecilan dan teknologi budidaya yang
sederhana. Hasil-hasil tanaman perkebunan rakyat terdiri antara lain atas karet, kopral, teh, kopi, tembekau,
cengkeh, kapuk, coklat, dan berbagai rempah-rempah. Termasuk juga dalam
kelompok ini produk ikutanya dan hasil-hasil pengolahan sederhana terhadap
komoditas-komoditas tersebut. Adapun yang dimaksud dengan perkebunan besar
ialah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perushaan
perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar meliputi karet, teh, kopi,
kelapa sawit, coklat, kina, tebu, rami, berbagai serat, dan masih banyak lagi.
Subsektor kehutanan
terdiri atas tiga macam kegiatan yaitu penebangan kayu, kayu-kayu glondongan,
kayu bakar, arang, dan bambu. Hasil hutan lain meliputi damar, rotan, getah
kayu, kulit kayu, serta berbagain macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan
kegiatan pembaruan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu,
ular, buaya, dan termasuk juga madu
Subsektor peternakan
mencakup kegiatan berternak itu sendiri dan pengusahaan hasil-hasilnya.
Subsektor ini meliputi produksi ternak-ternak besar dan kecil, telur, susu
segar, wool, dan hasil pemotongan hewan. Untuk menghitung produksi subsektor
ini BPS mendasarkan pada data pemotongan, selisih stok atau perubahan populasi,
dan ekspor neto. Sebetulnya, per definisi, produksi subsektor peternakan ialah
pertambahan/ pertumbuhan hewan belum tersedia, maka untuk sementara BPS
menggunakan cara yang sudah disebutkan tadi.
Subsektor perikanan
meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam, tambak,
sawah, dan keramba, serta pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan
(pengertian dan pengasinan). Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini
dibedakan atas tiga macam sektor yaitu perikanan laut, perikanan darat, dan
penggaraman. Komoditas yang tergolong subsektor ini tidak terbatas hanya pada
ikan, tetapi juga udang, kepiting, ubur-ubur dan semacamnya.
Berdasarkan penjelasan
awal ini kiranya menjadi jelas bahwa
sektor pertanian tidak terbatas hanya pada tanaman pangan atau pertanian
rakyat, bukan semata-mata kegiatan produksi melalui bercocok tanam. Sejajar
dengan pemahaman ini, pelaku/produsen di sektor pertanian bukan hanya petani,
akan tetapi juga meliputi pekebun, peternak, nelayan, dan petambak. Produsen di
sektor pertanian juga tidak hanya orang perorangan, tapi juga perusahaan
berbadan hukum. Kalaupun sektor pertanian lebih sering dipahami terbatas
seakan-akan hanya urusan tanaman pangan, hal itu adalah karena tanaman pangan
merupakan subsektor inti di dalam sektor pertanian, termasuk di Indonesia.
Sebagai pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia, yakni bahan makanan,
kedudukan subsektor tanaman pangan sangat strategis. Itulah sebabnya kepedulian
terhadap subsektor tanaman pangan sangat
besar, jauh melebihi kepedulian terhadap subsektor-subsektor lain.
Dalam aspek teknologi,
pertanian tidak relevan untuk selalu diidentifikasikan dengan keterbelakangan
atau ketertinggalan, sebab teknologi di sektor pertanian juga selalu
berkembang. Bukan hanya teknologi dalam pengolahan hasil-hasilnya saja,
melainkan juga teknologi produksi
hasil-hasil pertanian itu sendiri, baik dalam hal budidayanya (penanaman atau pemeliharaan) maupun dalam
hal perbenihannya. Bioteknologi pertanian bahkan berkembang sangat pesat dewasa
ini. Di masa datang perkembangan itu diperkirakan akan jauh lebih pesat lagi
sehingga bukan mustahil pertanian akan berjaya kembali menjadi sektor unggulan
di masa datang.
Indonesia sangat
tertinggal dalam pengembangan
bioteknologi pertanian. Ini disebabkan karena kita masih berkutat pada
masalah struktural yang mendasar di sektor pertanian.
2.3 Ketahanan Pangan
Pangan merupakan istilah
yang amat penting bagi pertanian karena secara hakiki pangan merupakan salah
satu kebutuhan paking dasakebutuhan paking dasar dalam pemenuhan aspirasi
humanistik. Masalah konsumsi pangan dan pemenuhannya akan tetap merupakan
agenda penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Status konsumsi pangan
penduduk sering dipakai sebagai salah satu penduduk sering dipakai sebagai
salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Krisis penyediaan pangan
akan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan
sosial-politik. Oleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi
saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena
itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu,
mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan
topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan
pangan menjadi sangat penting.
Ketahanan pangan bagi
suatu Negara merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi Negara yang
mempunyai jumlah penduduk yang sayang mempunyai jumlah penduduk yang sangat
banyak seperti Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220
juta jiwa pada tahun 2020 dan proyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025.
Pengalaman sejarah pembangunan Indonesia menunjukkan bahwaengalaman sejarah
pembangunan Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketahan pangan sangat erat
kaitanntya dengan stabilitas ekonomi (khususnya inflasi), biaya produksi
ekonomi agregat (biaya hidup), dan stabilitas politik nasional. Oleh karena
itu, ketahanan pangan menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan pembangunan
nasional.
FAO (1997)
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses, baik secara fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi
seluruh anggota keluarganya dan rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami
kehilkarganya dan rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua
akses tersebut. Ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang
memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama. Ketersediaan
pangan yang memadai mengandung arti bahwa secara rata-rata pangan harus
tersedia dalam jumlah yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Stabilitas
merujuk pada kemungkinan bahwa situasi yang sesulit apapun (misalnya, pada
musim paceklik), konsumsi pangan tidak akan jatuh di bawah kebutuhan gizi yang
dianjurkan. Sementara itu, akses mengacu pada fakta bahwa banyak masyarakat
yang mengalami kelaparan karena ketidakmampuan untuk membeli pangan sesuai
kebutuhan. Jadi, determinan utama dan ketahanan pangan adalah daya beli atau
pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup.
Pasal 1 Ayat 17
Undang-undang Pangan (UU No. 7/1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai
kondisi terpenuhnya pangan bagi rumah tangga yag tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Sementara
definisi ketahanan pangan yang secara resmi disepakati oleh para pemimpin
negara anggota PBB – termasuk Indonesia – pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhnya kebutuhan gizi
setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara
kesinambungan sesuai budaya setempat. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap
apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti
memperoleh makanan yang cukup sesuai norma gizi untuk kehidupan yang sehat,
tumbuh, dan produktif. Ancaman resiko atau peluang kejadian sebagian penduduk
menderita kurang pangan merupakanindikator keragaan akhir dari sistem ketahan
pangan. Oleh karena itu, ketahanan pangan ditentukan oleh 3 indikator kunci,
yaitu ketersediaan pangan, (food
availibility), jangkauan pangan (food
acces), serta kendalan (reliability)
dari ketersediaan dan jangkauan pangan tersebut.
Pendapat lain
menyebutkan bahwa ketahanan pangan dalah keterjangkauan semua orang pada setiap
waktu untuk dapat mencukupi pangan bagi aktivitasnya untuk dapat hidup sehat,
termasuk di dalamnya kesiapan ketersediaan nutrisi yang cukup dan pangan yang
aman, serta keyakinan akan jaminan untuk dapat memperoleh pangan melalui
kegiatan sosial, misalnya mendapat supply
pangan darurat dan berbagai strategi
pemenuhan pangan lainnya. Sementara itu, ketidaktahanan pangan sewaktu-waktu
dapat terjadi apabila ada keterbatasan perolehan pangan yang cukup dan aman,
serta jaminan memperoleh pangan melalui kegiatan sosial terbatas adanya.
Organisai Pertanian dan
Pangan PBB (FAO) mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai sebuah kondisi di mana semua masyarakat dapat
memperoleh pangan yang aman dan bergizi untuk dapat hidup secara sehat dan
aktif. Di satu sisi, untuk menikmati ketahanan pangan harus ada sebuah
ketetapan tentang pangan yang aman dan bergizi, baik dari segi kuantitatif dan
kualitatif. Disisi yang lain, ada ketetapan bahwa kaum miskin dan kaya,
laki-laki dan perempuan, atau tua dan muda memiliki keterjangkauan untuk memperoleh
pangan tersebut. US Government menanbahkan
bahwa ketahanan pangan memiliki tiga dimensi, antara lain:
1.
Ketersediaan
kuantitas pangan dengan kualitas yang memadai, yang disuplai melalui produksi
dalam negeri atau impor.
2.
Keterjangkauan
rumah tangga dan individu untuk memperoleh makanan bergizi.
3.
Konsumsi gizi
optimal dari pangan, air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan.
Definisi ketahanan
pangan yang diterima secara luas: “ketika setiap orang pada setiap saat
memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan mereka agar dapat hidup sehat dan produktif”. Kalimat
“setiap saat” dengan jelas menunjukkan bahwa “keberlanjutan” adalah elemen
penting dalam ketahanan pangan. Pregram ketahanan pangan seharusnya tidak hanya
mementingkan kebutuhan orang saat ini untuk periode yang terbatas, tetapi juga
untuk waktu dan generasi mendatang. Defiinisi ini secara implisit mencakup
empat elemen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, keamanan, dan
keberlanjutan. Keamanan dapat dibedakan menjadi dua komponen, yaitu stabilitas
dan keandalan.
Paradigma ketahanan
pangan berkelanjutan (sustainability food
security paradigm atau SFSP) menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang
cukup adalah penting, tetapi tidak memadai untuk menjamin ketahanan pangan.
Sesungguhnya, tidak akan ketahanan pangan bila tidak ada ketersediaan pangan
yang cukup untuk diakses. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagaian orang
dapat menderita kelaparan karena mereka tidak meliliki cukup akses terhadap
pangan (hunger paradox). Paradigma
itu juga tidak dapat mendeteksi kerentanan ketahanan pangan terhadap berbagai
resiko (vulnerability). Terlebih
lagi, paradigma tersebut megabaikan sustainability,
kondisi penting untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. Itulah mengapa
ketersediaan pangan (food availability
approach atau FAA) pada kethanan pangan (termasuk swasembada panagn) gagal
mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di beberapa negara.
Selanjutnya, FAA diubah
dengan mengajukan aksesibilitas sebagai komponen penting dari ketahanan pangan.
Sen menyatakan bahwa entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan yang
cukup adalah determinan yang terpenting dalam ketahanan pangan, akses terhadap
panagn dapat melalui pertukaran pasar atau non pasar (bantuan atau transfer). Food entitlement approach (FEA) pada
ketahanan pangan menekankan pentingnya pendapatan rumah tangga dan transfer
pendapatan atau bantuan pangan untuk ketahanan pangan. FEA telah menunjukkan
kelebihannya dibanding FAA dalam menjelaskan kelaparan di berbagai negara.
Orang menduga krisis pangan Indonesia pada tahun 1998 disebabkan oleh kegagalan
penguasaan, bukan karena kekurangan pangan, tetapi sebagaian orang mengkritik
bahwa FEA terlalu banyak menyoroti aspek ekonomi. Pendekatan tersebut gagal
untuk menunjukkan isu vulnerability dan
sustainability dalam masalah ketahanan
pangan.
2.4 Tonggak Ketahanan Pangan
Tonggak ketahanan
pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesbilitas bahan pangan
oleh anggota masyarakat. Ketersedian dan kecukupan pangan juga mencakup
kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhistandar
kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan
sehari-hari. Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui: (1) produksi
sendiri, dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdaya manusia, manajemen dan
pengembangan sumberdaya manusia, serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang
optimal, dan (2) impor dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang
memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan
luar negeri.
Sedangkan komponen
kedua dalam ketahanan pangan atau aksesbilitas setiap individu terhadap bahan
pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta
mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan
melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi
sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat ditopang oleh intervensi kebijakan
harga yang memadai, menguntungkan , dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat.
Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih tampak relevan,
terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim
panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga-harga kebutuhan
pokok pada musim tanam dan paceklik.
Organisasi Pangan dan
Pertanian Sedunia (FAO), menetapkan beberapa kriteria tentang ancaman ketahanan
pangan suatu negara. Kriteria itu antara lain: (1) tingginya proporsi penduduk
yang kekurangan pangan; (2) tingginya proporsi kekurangan energi/protein dari
rata-rata kebutuhan energi/protein yang disyaratkan (food gap); (3)
besarnya indeks Gini dari food gapkonsumsi energi/protein; dan (4)
besarnya koefisien variasi konsumsi/energi. Dengan kondisi ketahanan pangan
nasional saat ini, Indonesia sebenarnya tengah mengahadapi ancaman yang tidak
ringan. Misalnya, proporsi penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi kalori
kurang dari 2,150 kilo kalori (kkal) mencapai 56 persen; proporsi penduduk
dengan konsumsi protein kurang dari 45 gram mencapai 38 persen; indeks Gini food
gap konsumsi energi dan protein tercatat 0,36 dan 0,39; koefisien variasi
konsumsi energi dan protein mencapai 28 dan 34 persen (lihat Arifin, 2001b).
Di tingkat nasional,
konsep ketahanan pangan ini mencakup penyediaan pangan dalam jumlah dan
kualitas yang cukup serta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Basis
dari konsep ketahanan tingkat nasional ini adalah ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga, terutama di tingkat pedesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga merupakan prakondisi sangat penting untuk
memupuk ketahan pangan di tingkat nasional dan di tingkat regional. Dalam hal
ini, proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah
satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut. Semakin besar
pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan, semakin rendah ketahanan
pangan rumah tangga yang bersangkutan. Secara agregat pangsa pengeluaran bahan
pangan tersebut mengalami penurunan dari sekitar 70 persen pada tahun 1980
menjadi 57 persen pada tahun 1990 dan menurun kurang dari 50 persen pada tahun
2000. Besarnya pangsa pendapatan yang digunakan untuk konsumsi pangan juga
menunjukan kecilnya bentuk kekayaan lain yang dapat dipertukarkan untuk
memperoleh satu satuan bahan pangan.
Misalnya dalam kasus
beras, yang merupakan komoditas utama dan terpenting dalam konteks ketahanan
pangan di Indonesia. Dengan status tingkat produksi dan sebaran musim panen
yang demikian lebar serta laju konsumsi domestik yang senantiasa meningkat,
Indonesia seakan memiliki kewajiban untuk melakukan manajemen impor beras dan
bahan pangan lain sebaik-baiknya. Apalagi secara politis “keberhasilan”
Indonesia mencapai swasembada beras pada pertangahan tahun 1980-an tersebut
sering dijadikan romantisasi bench-mark keberhasilan kebijakan pangan
nasional. Masyarakat seakan tidak peduli bahwa sistem politik telah berubah dan
peta perdagangan pun sebenarnya juga telah berubah. Oleh karena itu,
persoalannya pun telah berubah cukup jauh tidak sekadar apakah Indonesia mampu
menggapai kembali tingkat swasembada beras sebagai prasyarat ketahanan pangan di
tingkat nasional. Kini, strategi mencapai ketahanan pangan tersebut perlu
mengantisipasi peta perubahan perdagangan dunia yang juga berubah cukup pesat.
2.5 Perdagangan dan Distribusi Beras di
Indonesia
Teori ekonomi
mengajarkan tiga faktor penting yang perlu terus diperhatikan dalam suatu
sistem perdahangan dunia yang lebih terbuka sekalipun atau ketika hanya tarif
bea masuk impor yang menjadikan pembatas para importir dalam melakukan impor.
Pertama,
tingkat fluktusdi produk domestik akan menyebabkan pula fluktuasi tingkat harga
pasar domestik. Maksudnya, suatu ekses suplai yang terjadi pada musim panen
akan menekan harga pada sekuesi berikutnya, apabila negara tidak mampu
menyerapnya secara baik melalui instrumen kebijakan domestik yang ada. Kedua,
instabilitas harga di pasar dunia akan menjelma menjadi instabilitas harga di
tingkat domestik. Jika harga beras dunia turun karena beberapa negara produsen
panen dalam waktu yang hampri bersamaan, maka pelaku usaha atau importir swasta
akan mengimpor beras dan menjualnya di pasar domestik dengan harga yang lebih
tinggi. Demukian pula sebaliknya, jika harga beras dunia naik karena tingkat
suplai dunia berkurang, maka harga beras domestik pun akan terdorong naik
karena para pedagang melakukan ekspor beras. Ketiga, niali tukar rupiah
juga berpengaruh pada harga beras dunia (ekivalen dalam rupiah) yang pasti akan
berpengaruh pada harga beras di pasar domestik. Dalam hal ini, tingkat
volatilitas nilai tukar rupiah seperti yang terjadi pada puncak krisis ekonomi
tahun 1998-1999 yang lalu juga berpengaruh pada instabilitas harga beras di
pasar domestik, apalagi Indonesia sama sekali tidak menerapkan kebijakan bea
masuk impor beras.
Dalam hal perdagangan
dan distribusi pangan, Indonesia masih menggunakan instrumen kebijakan lama
dengan tarif bea masuk sebesar Rp 430 per kilogram, sebagai operasionalisasi
dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2001 tantang Kebijakan Perbesaran untuk
menunjang ketahanan pangan tingkat nasional. Benar bahwa implementasi dari
kebijakan pengendalian impor beras yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 368/ KMK.01/ 1999 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor
Beras san Gula masih tidak menggembirakan.
Di tingkat lapangan,
laju dan volume impor beras tidak secara langsung dipengaruhi oleh
besar-kecilnya tarif bea masuk setara 30 persen dari harga eceran tersebut.
Bahkan, perbedaan margin harga yang demikian besar dan buruknya manajemen dan
administrasi bea masuk tersebut telah berkontribusi pada besarnya laju
penyelundupan beras impor ke pasar domestik. Sampai saat ini tidak terdapat
estimasi angka yang pasti dari volume beras impor selundupan yang masuk ke
Indonesia. Namun, perkiraan bahwa setengah dari total volume impor beras yang
masuk adalah beras selundupan tampaknya tidaklah terlalu berlebihan, (Arifin,
dkk. 2002).
Jika demikian, apakah
solusi untuk mengenakan tarif bea masuk impor lebih tinggu dapat menjadi
jaminan pelaksanaan manajemen impor beras? Belum tentu. Amat sulit untuk
menjawab pertanyaan diatas dengan karakter birokrasi dan primitifnya institusi
ekonomi seperti sekarang ini. Pengalaman Indonesia dalam mengawal tarif impor
beras Rp 430 per kilogram dalam tiga tahun terakhir seharusnya menjadi
pelajaran barharga bahwa betapa fragil-nya suatu kebijakan publik hanya
mengedepankan banyak kepentingan tertentu. Impikasinya, terlalu riskan bagi
pemerintah untuk bermain-main dengan melakukan pelarangan impor beras sekalipun
hanya sementara, apalagi tidak pada waktu yang tepat. Pembenahan administrasi
bea masuk dan penegakan sanksi hukum yang keras terhadap para penyelundup beras
akan jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi pemberasan Indonesia, dibandingkan
dengan pelarangan impor beras. Upaya penataan ulang dengan langkah pelarangan
impor beras saat musim panen seakan menunjukkan kesan kepanikan saja di
kalangan pemerintah dan kaum elite lainnya.
2.6 Strategi Ketahanan Pangan untuk Masa
Depan
Strategi ketahanan pangan di tengah peta perubahan
perdagangan dunia memang perlu dipertajam, dari sektor hulu sampai hilir. Beberapa
langkah ke depan atau rekomendasi kebijakan yang dapat dirumuskan sebagai
alternatif, minimal sebagai komplemen, untuk meningkatkan ketahanan pangan
adalah sebagai berikut:
Pertama, melakukan integrasi pembangunan
ketahanan pangan ke dalam kebijakan ekonomi makro Indonesia. Langkah awalnya
dapat dimulai dengan upaya akselerasi pembangunan pedesaan dengan fokus
kepentingan golongan pendapatan rendah. Dimensi pembangunan yang berorientasi
pemerataan ini sangat relevan dengan pembangunan yang berdimensi pemberdayaan
ekonomi kerakyatan. Akselerasi pembangunan pedesaan dapat ditunjang oleh
peningkatan aksesabilitas masyarakat pedesaan, khususnya golongan pendapatan
rendah, terhadapa sumber daya pembangunan pertanian seperti lahan dan kredit.
Di samping itu, strategi pembangunan pedesaan yang mengarah pada penciptaan dan
peningkatan kesempatan kerja, transfer pendapatan yang seimbang dan stabilitas
suplai bahan pangan masih tetap kompatibel dengan dimensi sekalipun.
Kedua, merumuskan kebijakan alternatif
apabila strategi kemandirian pangan atau modifikasi dari swasembada pangan
tersebut menemui peningkatan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga
hambatan. Salah satu bentuk strategi reserve dalam pembangunan pertanian adalah pemberdayaan
institusional dalam penggunaan input pertanian. Mengubah institusi yang
mempengaruhi tingkat penggunaan input modern di bidang pertanian mungkin dapat
dikelompokkan menjadi:
a.
Akses terhadap
sarana/prasarana publik yang meliputi jalan, sekolah, dan saluran irigasi
b.
Kelembagaan
pasar yang meliputi pasar pupuk, kredit, tenaga kerja dan pasar output
c.
Penyebaran
informasi pertanian
d.
Struktur
kepemilikan lahan serta sumber daya penting lainnya seperti sumur pompa dan
traktor tangan
e.
Karakteristik
fisik seperti jenis, iklim dan struktur sosial yang mendukungnya
Ketiga,
perhatian yang terlalu besar terhadap sisi produksi dapat menjadi bumerang,
sebab isu ketahanan pangan nasional juga menyangkut aspek aksesabilitas
masyarakat, yang tentunya sangat berhubungan dengan aspek distribusi dan
konsumsi. Maksudnya, perhatian terhadap diversifikasi pangan dan pengadaan
beras yang sangat berakibat langsung pada kesejahteraan rakyat Indonesia
hendaknya dapat berimbang. Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan
mengintegrasikan strategi diversifikasi pangan dengan pengembangan food technology yang lebih membumi dan
terjangkau masyarakat luas.
Keempat,
gejala perubahan peta perdagangan dunia sebagaimana kaidah – kaidah globalisasi
perlu diperlakukan sebagai ajang perpacuan peningkatan potensi dan pemanfaatan
peluang yang ada. Lebih tepatnya, skema liberalisasi perlu dipandang sebagai
arena kompetisi tingkat ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, dan kemampuan
diplomasi tingkat internasional. Indonesia perlu lebih aktif mengisi arena
kerja sama ekonomi itu sebagai upaya agak terstruktur untuk mempersiapkan
pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat umum dalam memasuki persaingan global
yang sesungguhnya, kelak. Hal inilah yang perlu diyakini dan ditindaklanjuti
bahwa persaingan atau kompetisi yang sehat dapat menghasilkan bangsa yang tangguh,
mampu mandiri, dan berbicara lebih signifikan pada arena global.
Saya akan merekomendasikan siapa pun yang mencari pinjaman Bisnis ke Le_Meridian, mereka membantu saya dengan pinjaman Empat Juta USD untuk memulai bisnis Quilting saya dan itu cepat. Ketika mendapatkan pinjaman dari mereka, mengejutkan betapa mudahnya mereka bekerja. Mereka dapat membiayai hingga jumlah $ 500.000.000.000 (Lima Ratus Juta Dolar) di wilayah mana pun di dunia selama ada 1,9% ROI yang dapat dijamin pada proyek tersebut. Prosesnya cepat dan aman. Itu benar-benar pengalaman positif. Hindari penipu di sini dan hubungi Layanan Pendanaan Le_Meridian Di. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. jika Anda mencari pinjaman bisnis.
ReplyDelete