Friday, July 29, 2016

Filled Under:

PERTANIAN

2.1       Revitalisasi Pertanian
Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian. Pertama, pengertian revitalisasi pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian –dalam arti vitalnya pertanian - bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia; kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian; serta ketiga, pengertian revitalisasi sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan “proses revitalisasi” itu sendiri. 
Arti penting secara proporsional tidak dimaksudkan untuk menjadikan bidang dan sektor lain menjadi lebih tidak penting, tetapi justru menekankan keterkaitan, saling ketergantungan, dan sinergi. Arti penting pertanian juga dilihat secara konstektual sesuai perkembangan masyarakat. Pertanian tidak dipentingkan melulu karena pertimbangan masa lalu, tetapi terutama karena pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern, dan menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Revitalisasi pertanian juga diartikan sebagai usaha, proses dan kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan kemampuannya, membangun daya-saingnya, meningkatkan kinerjanya, serta menyejahterakan pelakunya, terutama petani, nelayan, dan petani hutan; sebagai bagian dari usaha untuk menyejahterakan seluruh rakyat.

2.2       Ruang Lingkup Pertanian
Sektor pertanian yang dimaksudkan dalam konsep pendapatan nasional menurut lapangan usaha atau sektor produksi ialah pertanian dalam arti luas. Di Indonesia, sektor pertanian dalam arti luas ini dipilah-pilah menjadi lima subsektor, yaitu:
1.      Subsektor Tanaman Pangan,
2.      Subsektor Perkebunan,
3.      Subsektor Kehutanan,
4.      Subsektor Peternakan, dan



5.      Subsektor Perikanan.
Masing-masing subsektor, dengan dasar klasifikasi tertentu, dirinci lebih lanjut menjadi subsektor yang lebih spesifik. Nilai tambah sektor pertanian dalam perhitungan PDB tidak lain merupakan hasil penjumlahan nilai tambah dari subsektor-subsektor ini. Perhitungan dilakukan oleh Biro Pusat Statistik. Sumber data sebagian hasil pencacahan oleh BPS sendiri, sebagian lagi berasal dari instasi teknis seperti Departemen  Perindustrian dan Perdagangan. Nilai tambah subsektor-subsektor tersebut dihitung dengan menggunakan pendekatan produksi. Tingkat harga yang dipakai untuk menghitung nilai produksi adalah haraga pada tingakat perdagangan besar.
Subsektor tanaman pangan seringjuga disebut subsektor pertanian rakyat. Disebut demikian karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat, maksudnya bukan oleh perusahaan atau pemerintah. Subsektor ini mencakup komoditas-komoditas bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai, serta sayur-sayuran dan buah-buahan.
Subsektor perkebunan dibedakan atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Yang dimaksud dengan perkebunan rakyat ialah perkebunan yang diusahakan sendiri oleh rakyat atau masyarakat, biasanya dalam skala kecil-kecilan dan teknologi budidaya yang sederhana. Hasil-hasil tanaman perkebunan rakyat terdiri antara  lain atas karet, kopral, teh, kopi, tembekau, cengkeh, kapuk, coklat, dan berbagai rempah-rempah. Termasuk juga dalam kelompok ini produk ikutanya dan hasil-hasil pengolahan sederhana terhadap komoditas-komoditas tersebut. Adapun yang dimaksud dengan perkebunan besar ialah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perushaan perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar meliputi karet, teh, kopi, kelapa sawit, coklat, kina, tebu, rami, berbagai serat, dan masih banyak lagi.
Subsektor kehutanan terdiri atas tiga macam kegiatan yaitu penebangan kayu, kayu-kayu glondongan, kayu bakar, arang, dan bambu. Hasil hutan lain meliputi damar, rotan, getah kayu, kulit kayu, serta berbagain macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan kegiatan pembaruan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu, ular, buaya, dan termasuk juga madu
Subsektor peternakan mencakup kegiatan berternak itu sendiri dan pengusahaan hasil-hasilnya. Subsektor ini meliputi produksi ternak-ternak besar dan kecil, telur, susu segar, wool, dan hasil pemotongan hewan. Untuk menghitung produksi subsektor ini BPS mendasarkan pada data pemotongan, selisih stok atau perubahan populasi, dan ekspor neto. Sebetulnya, per definisi, produksi subsektor peternakan ialah pertambahan/ pertumbuhan hewan belum tersedia, maka untuk sementara BPS menggunakan cara yang sudah disebutkan tadi.
Subsektor perikanan meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam, tambak, sawah, dan keramba, serta pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan (pengertian dan pengasinan). Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini dibedakan atas tiga macam sektor yaitu perikanan laut, perikanan darat, dan penggaraman. Komoditas yang tergolong subsektor ini tidak terbatas hanya pada ikan, tetapi juga udang, kepiting, ubur-ubur dan semacamnya.
Berdasarkan penjelasan awal  ini kiranya menjadi jelas bahwa sektor pertanian tidak terbatas hanya pada tanaman pangan atau pertanian rakyat, bukan semata-mata kegiatan produksi melalui bercocok tanam. Sejajar dengan pemahaman ini, pelaku/produsen di sektor pertanian bukan hanya petani, akan tetapi juga meliputi pekebun, peternak, nelayan, dan petambak. Produsen di sektor pertanian juga tidak hanya orang perorangan, tapi juga perusahaan berbadan hukum. Kalaupun sektor pertanian lebih sering dipahami terbatas seakan-akan hanya urusan tanaman pangan, hal itu adalah karena tanaman pangan merupakan subsektor inti di dalam sektor pertanian, termasuk di Indonesia. Sebagai pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia, yakni bahan makanan, kedudukan subsektor tanaman pangan sangat strategis. Itulah sebabnya kepedulian terhadap subsektor tanaman pangan sangat  besar, jauh melebihi kepedulian terhadap subsektor-subsektor lain.
Dalam aspek teknologi, pertanian tidak relevan untuk selalu diidentifikasikan dengan keterbelakangan atau ketertinggalan, sebab teknologi di sektor pertanian juga selalu berkembang. Bukan hanya teknologi dalam pengolahan hasil-hasilnya saja, melainkan juga  teknologi produksi hasil-hasil pertanian itu sendiri, baik dalam hal budidayanya  (penanaman atau pemeliharaan) maupun dalam hal perbenihannya. Bioteknologi pertanian bahkan berkembang sangat pesat dewasa ini. Di masa datang perkembangan itu diperkirakan akan jauh lebih pesat lagi sehingga bukan mustahil pertanian akan berjaya kembali menjadi sektor unggulan di masa datang.
Indonesia sangat tertinggal dalam pengembangan  bioteknologi pertanian. Ini disebabkan karena kita masih berkutat pada masalah struktural yang mendasar di sektor pertanian.

2.3       Ketahanan Pangan
Pangan merupakan istilah yang amat penting bagi pertanian karena secara hakiki pangan merupakan salah satu kebutuhan paking dasakebutuhan paking dasar dalam pemenuhan aspirasi humanistik. Masalah konsumsi pangan dan pemenuhannya akan tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Status konsumsi pangan penduduk sering dipakai sebagai salah satu penduduk sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Krisis penyediaan pangan akan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial-politik. Oleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi saleh karena itu, mendiskusikan topik ketahanan pangan menjadi sangat penting.
Ketahanan pangan bagi suatu Negara merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi Negara yang mempunyai jumlah penduduk yang sayang mempunyai jumlah penduduk yang sangat banyak seperti Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta jiwa pada tahun 2020 dan proyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025. Pengalaman sejarah pembangunan Indonesia menunjukkan bahwaengalaman sejarah pembangunan Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketahan pangan sangat erat kaitanntya dengan stabilitas ekonomi (khususnya inflasi), biaya produksi ekonomi agregat (biaya hidup), dan stabilitas politik nasional. Oleh karena itu, ketahanan pangan menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.
FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses, baik secara fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya dan rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilkarganya dan rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama. Ketersediaan pangan yang memadai mengandung arti bahwa secara rata-rata pangan harus tersedia dalam jumlah yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Stabilitas merujuk pada kemungkinan bahwa situasi yang sesulit apapun (misalnya, pada musim paceklik), konsumsi pangan tidak akan jatuh di bawah kebutuhan gizi yang dianjurkan. Sementara itu, akses mengacu pada fakta bahwa banyak masyarakat yang mengalami kelaparan karena ketidakmampuan untuk membeli pangan sesuai kebutuhan. Jadi, determinan utama dan ketahanan pangan adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup.
Pasal 1 Ayat 17 Undang-undang Pangan (UU No. 7/1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhnya pangan bagi rumah tangga yag tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Sementara definisi ketahanan pangan yang secara resmi disepakati oleh para pemimpin negara anggota PBB – termasuk Indonesia – pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhnya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara kesinambungan sesuai budaya setempat. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai norma gizi untuk kehidupan yang sehat, tumbuh, dan produktif. Ancaman resiko atau peluang kejadian sebagian penduduk menderita kurang pangan merupakanindikator keragaan akhir dari sistem ketahan pangan. Oleh karena itu, ketahanan pangan ditentukan oleh 3 indikator kunci, yaitu ketersediaan pangan, (food availibility), jangkauan pangan (food acces), serta kendalan (reliability) dari ketersediaan dan jangkauan pangan tersebut.
Pendapat lain menyebutkan bahwa ketahanan pangan dalah keterjangkauan semua orang pada setiap waktu untuk dapat mencukupi pangan bagi aktivitasnya untuk dapat hidup sehat, termasuk di dalamnya kesiapan ketersediaan nutrisi yang cukup dan pangan yang aman, serta keyakinan akan jaminan untuk dapat memperoleh pangan melalui kegiatan sosial, misalnya mendapat supply  pangan darurat dan berbagai strategi pemenuhan pangan lainnya. Sementara itu, ketidaktahanan pangan sewaktu-waktu dapat terjadi apabila ada keterbatasan perolehan pangan yang cukup dan aman, serta jaminan memperoleh pangan melalui kegiatan sosial terbatas adanya.
Organisai Pertanian dan Pangan PBB (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai sebuah kondisi di mana semua masyarakat dapat memperoleh pangan yang aman dan bergizi untuk dapat hidup secara sehat dan aktif. Di satu sisi, untuk menikmati ketahanan pangan harus ada sebuah ketetapan tentang pangan yang aman dan bergizi, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Disisi yang lain, ada ketetapan bahwa kaum miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan, atau tua dan muda memiliki keterjangkauan untuk memperoleh pangan tersebut. US Government menanbahkan bahwa ketahanan pangan memiliki tiga dimensi, antara lain:
1.        Ketersediaan kuantitas pangan dengan kualitas yang memadai, yang disuplai melalui produksi dalam negeri atau impor.
2.        Keterjangkauan rumah tangga dan individu untuk memperoleh makanan bergizi.
3.        Konsumsi gizi optimal dari pangan, air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan.
Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas: “ketika setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka agar dapat hidup sehat dan produktif”. Kalimat “setiap saat” dengan jelas menunjukkan bahwa “keberlanjutan” adalah elemen penting dalam ketahanan pangan. Pregram ketahanan pangan seharusnya tidak hanya mementingkan kebutuhan orang saat ini untuk periode yang terbatas, tetapi juga untuk waktu dan generasi mendatang. Defiinisi ini secara implisit mencakup empat elemen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, keamanan, dan keberlanjutan. Keamanan dapat dibedakan menjadi dua komponen, yaitu stabilitas dan keandalan.
Paradigma ketahanan pangan berkelanjutan (sustainability food security paradigm atau SFSP) menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang cukup adalah penting, tetapi tidak memadai untuk menjamin ketahanan pangan. Sesungguhnya, tidak akan ketahanan pangan bila tidak ada ketersediaan pangan yang cukup untuk diakses. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagaian orang dapat menderita kelaparan karena mereka tidak meliliki cukup akses terhadap pangan (hunger paradox). Paradigma itu juga tidak dapat mendeteksi kerentanan ketahanan pangan terhadap berbagai resiko (vulnerability). Terlebih lagi, paradigma tersebut megabaikan sustainability, kondisi penting untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. Itulah mengapa ketersediaan pangan (food availability approach atau FAA) pada kethanan pangan (termasuk swasembada panagn) gagal mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di beberapa negara.
Selanjutnya, FAA diubah dengan mengajukan aksesibilitas sebagai komponen penting dari ketahanan pangan. Sen menyatakan bahwa entitlement  atau kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup adalah determinan yang terpenting dalam ketahanan pangan, akses terhadap panagn dapat melalui pertukaran pasar atau non pasar (bantuan atau transfer). Food entitlement approach (FEA) pada ketahanan pangan menekankan pentingnya pendapatan rumah tangga dan transfer pendapatan atau bantuan pangan untuk ketahanan pangan. FEA telah menunjukkan kelebihannya dibanding FAA dalam menjelaskan kelaparan di berbagai negara. Orang menduga krisis pangan Indonesia pada tahun 1998 disebabkan oleh kegagalan penguasaan, bukan karena kekurangan pangan, tetapi sebagaian orang mengkritik bahwa FEA terlalu banyak menyoroti aspek ekonomi. Pendekatan tersebut gagal untuk menunjukkan isu vulnerability dan  sustainability dalam masalah ketahanan pangan.


2.4       Tonggak Ketahanan Pangan
Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesbilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Ketersedian dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhistandar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui: (1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdaya manusia, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia, serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal, dan (2) impor dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri.
Sedangkan komponen kedua dalam ketahanan pangan atau aksesbilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan , dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih tampak relevan, terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga-harga kebutuhan pokok pada musim tanam dan paceklik.
Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia (FAO), menetapkan beberapa kriteria tentang ancaman ketahanan pangan suatu negara. Kriteria itu antara lain: (1) tingginya proporsi penduduk yang kekurangan pangan; (2) tingginya proporsi kekurangan energi/protein dari rata-rata kebutuhan energi/protein yang disyaratkan (food gap); (3) besarnya indeks Gini dari food gapkonsumsi energi/protein; dan (4) besarnya koefisien variasi konsumsi/energi. Dengan kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, Indonesia sebenarnya tengah mengahadapi ancaman yang tidak ringan. Misalnya, proporsi penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari 2,150 kilo kalori (kkal) mencapai 56 persen; proporsi penduduk dengan konsumsi protein kurang dari 45 gram mencapai 38 persen; indeks Gini food gap konsumsi energi dan protein tercatat 0,36 dan 0,39; koefisien variasi konsumsi energi dan protein mencapai 28 dan 34 persen (lihat Arifin, 2001b).
Di tingkat nasional, konsep ketahanan pangan ini mencakup penyediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Basis dari konsep ketahanan tingkat nasional ini adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di tingkat pedesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga merupakan prakondisi sangat penting untuk memupuk ketahan pangan di tingkat nasional dan di tingkat regional. Dalam hal ini, proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut. Semakin besar pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan, semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Secara agregat pangsa pengeluaran bahan pangan tersebut mengalami penurunan dari sekitar 70 persen pada tahun 1980 menjadi 57 persen pada tahun 1990 dan menurun kurang dari 50 persen pada tahun 2000. Besarnya pangsa pendapatan yang digunakan untuk konsumsi pangan juga menunjukan kecilnya bentuk kekayaan lain yang dapat dipertukarkan untuk memperoleh satu satuan bahan pangan.
Misalnya dalam kasus beras, yang merupakan komoditas utama dan terpenting dalam konteks ketahanan pangan di Indonesia. Dengan status tingkat produksi dan sebaran musim panen yang demikian lebar serta laju konsumsi domestik yang senantiasa meningkat, Indonesia seakan memiliki kewajiban untuk melakukan manajemen impor beras dan bahan pangan lain sebaik-baiknya. Apalagi secara politis “keberhasilan” Indonesia mencapai swasembada beras pada pertangahan tahun 1980-an tersebut sering dijadikan romantisasi bench-mark keberhasilan kebijakan pangan nasional. Masyarakat seakan tidak peduli bahwa sistem politik telah berubah dan peta perdagangan pun sebenarnya juga telah berubah. Oleh karena itu, persoalannya pun telah berubah cukup jauh tidak sekadar apakah Indonesia mampu menggapai kembali tingkat swasembada beras sebagai prasyarat ketahanan pangan di tingkat nasional. Kini, strategi mencapai ketahanan pangan tersebut perlu mengantisipasi peta perubahan perdagangan dunia yang juga berubah cukup pesat.

2.5       Perdagangan dan Distribusi Beras di Indonesia
Teori ekonomi mengajarkan tiga faktor penting yang perlu terus diperhatikan dalam suatu sistem perdahangan dunia yang lebih terbuka sekalipun atau ketika hanya tarif bea masuk impor yang menjadikan pembatas para importir dalam melakukan impor.
Pertama, tingkat fluktusdi produk domestik akan menyebabkan pula fluktuasi tingkat harga pasar domestik. Maksudnya, suatu ekses suplai yang terjadi pada musim panen akan menekan harga pada sekuesi berikutnya, apabila negara tidak mampu menyerapnya secara baik melalui instrumen kebijakan domestik yang ada. Kedua, instabilitas harga di pasar dunia akan menjelma menjadi instabilitas harga di tingkat domestik. Jika harga beras dunia turun karena beberapa negara produsen panen dalam waktu yang hampri bersamaan, maka pelaku usaha atau importir swasta akan mengimpor beras dan menjualnya di pasar domestik dengan harga yang lebih tinggi. Demukian pula sebaliknya, jika harga beras dunia naik karena tingkat suplai dunia berkurang, maka harga beras domestik pun akan terdorong naik karena para pedagang melakukan ekspor beras. Ketiga, niali tukar rupiah juga berpengaruh pada harga beras dunia (ekivalen dalam rupiah) yang pasti akan berpengaruh pada harga beras di pasar domestik. Dalam hal ini, tingkat volatilitas nilai tukar rupiah seperti yang terjadi pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 yang lalu juga berpengaruh pada instabilitas harga beras di pasar domestik, apalagi Indonesia sama sekali tidak menerapkan kebijakan bea masuk impor beras.
Dalam hal perdagangan dan distribusi pangan, Indonesia masih menggunakan instrumen kebijakan lama dengan tarif bea masuk sebesar Rp 430 per kilogram, sebagai operasionalisasi dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2001 tantang Kebijakan Perbesaran untuk menunjang ketahanan pangan tingkat nasional. Benar bahwa implementasi dari kebijakan pengendalian impor beras yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 368/ KMK.01/ 1999 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Beras san Gula masih tidak menggembirakan.
Di tingkat lapangan, laju dan volume impor beras tidak secara langsung dipengaruhi oleh besar-kecilnya tarif bea masuk setara 30 persen dari harga eceran tersebut. Bahkan, perbedaan margin harga yang demikian besar dan buruknya manajemen dan administrasi bea masuk tersebut telah berkontribusi pada besarnya laju penyelundupan beras impor ke pasar domestik. Sampai saat ini tidak terdapat estimasi angka yang pasti dari volume beras impor selundupan yang masuk ke Indonesia. Namun, perkiraan bahwa setengah dari total volume impor beras yang masuk adalah beras selundupan tampaknya tidaklah terlalu berlebihan, (Arifin, dkk. 2002).
Jika demikian, apakah solusi untuk mengenakan tarif bea masuk impor lebih tinggu dapat menjadi jaminan pelaksanaan manajemen impor beras? Belum tentu. Amat sulit untuk menjawab pertanyaan diatas dengan karakter birokrasi dan primitifnya institusi ekonomi seperti sekarang ini. Pengalaman Indonesia dalam mengawal tarif impor beras Rp 430 per kilogram dalam tiga tahun terakhir seharusnya menjadi pelajaran barharga bahwa betapa fragil-nya suatu kebijakan publik hanya mengedepankan banyak kepentingan tertentu. Impikasinya, terlalu riskan bagi pemerintah untuk bermain-main dengan melakukan pelarangan impor beras sekalipun hanya sementara, apalagi tidak pada waktu yang tepat. Pembenahan administrasi bea masuk dan penegakan sanksi hukum yang keras terhadap para penyelundup beras akan jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi pemberasan Indonesia, dibandingkan dengan pelarangan impor beras. Upaya penataan ulang dengan langkah pelarangan impor beras saat musim panen seakan menunjukkan kesan kepanikan saja di kalangan pemerintah dan kaum elite lainnya.

2.6       Strategi Ketahanan Pangan untuk Masa Depan
                        Strategi ketahanan pangan di tengah peta perubahan perdagangan dunia memang perlu dipertajam, dari sektor hulu sampai hilir. Beberapa langkah ke depan atau rekomendasi kebijakan yang dapat dirumuskan sebagai alternatif, minimal sebagai komplemen, untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
                        Pertama, melakukan integrasi pembangunan ketahanan pangan ke dalam kebijakan ekonomi makro Indonesia. Langkah awalnya dapat dimulai dengan upaya akselerasi pembangunan pedesaan dengan fokus kepentingan golongan pendapatan rendah. Dimensi pembangunan yang berorientasi pemerataan ini sangat relevan dengan pembangunan yang berdimensi pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Akselerasi pembangunan pedesaan dapat ditunjang oleh peningkatan aksesabilitas masyarakat pedesaan, khususnya golongan pendapatan rendah, terhadapa sumber daya pembangunan pertanian seperti lahan dan kredit. Di samping itu, strategi pembangunan pedesaan yang mengarah pada penciptaan dan peningkatan kesempatan kerja, transfer pendapatan yang seimbang dan stabilitas suplai bahan pangan masih tetap kompatibel dengan dimensi sekalipun.
                        Kedua, merumuskan kebijakan alternatif apabila strategi kemandirian pangan atau modifikasi dari swasembada pangan tersebut menemui peningkatan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga
hambatan. Salah satu bentuk strategi reserve dalam pembangunan pertanian adalah pemberdayaan institusional dalam penggunaan input pertanian. Mengubah institusi yang mempengaruhi tingkat penggunaan input modern di bidang pertanian mungkin dapat dikelompokkan menjadi:
a.         Akses terhadap sarana/prasarana publik yang meliputi jalan, sekolah, dan saluran irigasi
b.        Kelembagaan pasar yang meliputi pasar pupuk, kredit, tenaga kerja dan pasar output
c.         Penyebaran informasi pertanian
d.        Struktur kepemilikan lahan serta sumber daya penting lainnya seperti sumur pompa dan traktor tangan
e.         Karakteristik fisik seperti jenis, iklim dan struktur sosial yang mendukungnya
Ketiga, perhatian yang terlalu besar terhadap sisi produksi dapat menjadi bumerang, sebab isu ketahanan pangan nasional juga menyangkut aspek aksesabilitas masyarakat, yang tentunya sangat berhubungan dengan aspek distribusi dan konsumsi. Maksudnya, perhatian terhadap diversifikasi pangan dan pengadaan beras yang sangat berakibat langsung pada kesejahteraan rakyat Indonesia hendaknya dapat berimbang. Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan mengintegrasikan strategi diversifikasi pangan dengan pengembangan food technology yang lebih membumi dan terjangkau masyarakat luas.

Keempat, gejala perubahan peta perdagangan dunia sebagaimana kaidah – kaidah globalisasi perlu diperlakukan sebagai ajang perpacuan peningkatan potensi dan pemanfaatan peluang yang ada. Lebih tepatnya, skema liberalisasi perlu dipandang sebagai arena kompetisi tingkat ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, dan kemampuan diplomasi tingkat internasional. Indonesia perlu lebih aktif mengisi arena kerja sama ekonomi itu sebagai upaya agak terstruktur untuk mempersiapkan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat umum dalam memasuki persaingan global yang sesungguhnya, kelak. Hal inilah yang perlu diyakini dan ditindaklanjuti bahwa persaingan atau kompetisi yang sehat dapat menghasilkan bangsa yang tangguh, mampu mandiri, dan berbicara lebih signifikan pada arena global.

1 komentar:

  1. Saya akan merekomendasikan siapa pun yang mencari pinjaman Bisnis ke Le_Meridian, mereka membantu saya dengan pinjaman Empat Juta USD untuk memulai bisnis Quilting saya dan itu cepat. Ketika mendapatkan pinjaman dari mereka, mengejutkan betapa mudahnya mereka bekerja. Mereka dapat membiayai hingga jumlah $ 500.000.000.000 (Lima Ratus Juta Dolar) di wilayah mana pun di dunia selama ada 1,9% ROI yang dapat dijamin pada proyek tersebut. Prosesnya cepat dan aman. Itu benar-benar pengalaman positif. Hindari penipu di sini dan hubungi Layanan Pendanaan Le_Meridian Di. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. jika Anda mencari pinjaman bisnis.

    ReplyDelete